qonaah berarti menerima apa adanya. Merasa ikhlas dengan kondisi apapun yang dialami. Dalam bahasa jawanya : “nrimo ing pandum”
Dalam sudut pandang tertentu, qonaah sering disalah artikan sehingga menjadi pemicu sebuah kemunduran, ganjalan dalam berkembangnya seseorang ke tingkatan yang lebih tinggi/baik dalam berbagai aspek kehidupan.
Memang tak salah kalau qonaah diartikan menerima apa adanya, tapi tidak berhenti hanya sampai disitu. Sikapa qonaah menuntut siapa saja untuk selalu bermuhasabah, introspeksi, seberapakah kemampuan dirinya, sehingga ia hidup secara WAJAR dan tak melampaui batas. Selanjutnya diperlukan adanya syukur, tasyakkur dan tafakkur. Syukur sebagai perwujudan menerima apa adanya, tasyakkur tercermin dari kelapangan hati dan kesabaran, tafakkur sebagai wujud evaluasi.
contoh kecil orang yang sedang usaha berjualan. suatu saat jualannya sepi. ketika ia menghadapi itu, pertama ia ikhlas, kemudian bersyukur, “Alhamdulillah…. dengan kesempitan ini Ya Allah kau ingatkan aku, kau jadikan aku mendekat kepadaMu”. Orang ini akan semakin memacu ibadahnya, sehingga semakin dekatlah ia kepada Allah, dengan ijin Allah tentunya. dengan semakin dekat kepada Allah maka semakin lapang hatinya menjalani kesempitan ini, yang ada adalah kelurusan berfikir. Langkah selanjutnya adalah tafakkur, evaluasi. Kenapa sih orang2 seakan menjauh dari tokoku, apakah karena tokoku kotor sehingga tak menarik keinginan pembeli, apakah harga jualku terlalu mahal, apakah pelayananku yg tidak disukai pembeli… evaluasi demi evaluasi dilakukan sehingga dari situ lahirlah perbaikan-perbaikan. 2 manfaat sekaligus, ibadah semakin lancar, urusan dunia semakin lancar.
Orang beriman adalah orang yang memiliki landasan hidup yang kukuh dan benar,
yakni landasan hidup yang berdasarkan wahyu Allah SWT. Dengan landasan hidup
tersebut orang beriman memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan manusia lain.
Hidup manusia yang tidak dilandasi iman, tak ubahnya seperti kehidupan hewan
ternak, yang hanya makan, minum, bekerja, tidur, dan beranak. Sebaliknya, dengan
landasan iman, hidup manusia akan terarah, sesuai dengan yang dihekendaki
penciptanya, yakni Allah SWT.
1. Taqwa kepada Allah SWT
Taqwa kepada
Allah berarti menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Taqwa juga berarti berhati-hati dalam hidup, yakin
menjaga diri dari semua aturan yang diberikan Allah sebagai penciptanya. Taqwa
kepada Allah menjadi kewajiban setiap muslim.
Firman Allah
يأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أمَنُوْااتَّقُوْااللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّاقَدَّمَنْ لِغَدٍِج
وَاَتَّقُوْااللهَقلى اِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَاتَعْمَلُوْنَ (الحشر:18)
“Hai
orang-orang yang beriman, taqwalah kamu kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akherat). Bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al
Hasyr: 18)
يأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْااتَّقُوْااللهَ حَقَّ
تُقَاتِه وَلاَ تَمُوْتتُنَّ اِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ (ال عمران:
102)
“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan
sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali engkau mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam”. (QS. Ali ‘Imran: 102)
Memperhatikan
apa-apa yang telah dikerjakan untuk hari esok berarti mengadakan evaluasi kerja
dan mengadakan perencanaan kerja di masa-masa yang akan datang. Hari esok ada
dua macam, yakni hari esok yang dekat (di dunia ini) dan hari esok yang jauh (di
akherat kelak)
2. Berbuat baik kepada kedua orang tua
Orang tua (ayah
dan ibu) adalah orang yang menjadi perantara hidup manusia di dunia. Islam
memberi tuntunan bahwa setiap anak wajib berbuat baik kepada kedua orang tuanya,
walaupun berbeda agama dengan dirinya sendiri.
Firman
Allah:
وَاعْبُدُوْاللهَ وَلاَتُشْرِكُوْابِه شَيْئًا وَبِالْوَالِدِيْنِ
اِحْسَانًا (النسائ:36)
“Sembahlah Allah dan jangan mempersekutukannya-Nya
dengan sesuatu apapun dan berbuat ihsanlah (baiklah) kepada kedua orang tua (Ibu
bapak0 mu…” (Q.S An – Nissa: 36)
Islam tidak memberi batasan tentang
berbuat baik kepada orang tua. Hal ini diserahkan kepada kebijakan manusia
(anak) Sesuai dengan Kondisi masing-masing orang tuanya. Islam hanya memberi
batasan bahwa berbuat baik kepada kedua orang tua tidak boleh melanggar hak-hak
Allah, misalnya dengan cara menyekutukan-Nya.
Apabila kedua orang tua
mengajak berbuat maksiat kepada Allah (misalnya menyekutukan-Nya) maka anak
tidak boleh mengikuti ajakan tersebut, namun tetap berikap baik
kepadanya.
Firman Allah SWT:
وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِى
مَالَيْسَ لَكَ بِه عِلْمٌ فَلاَ تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَافِىالدُّنْيَا
مَعْرُوْفًا
“Dan jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan dengan Aku,
sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya. Pergaulilah keduanya di dunia ini dengan baik …” (QS. Luqman:
15).
Di samping wajib berbuat baik, kita dilarang untuk menyakiti hati
kedua orang tua, sebagaimana firman-Nya.
.... اِمَّا يَبْلُغَنَّ
عِنْدَكَ الْكِبَرَاَحَدُهُمَاأَوْكِلاَ هُمَافَلاَ تَقُلْ لَّهُمَاأُفٍّ وَلاَ
تَنْهَرْ هُمَاوَقُلْ لَّهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا (الاسرائ: 23)
“……jika salah
seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam
pemeliharaanmu, maka janganlah sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya
perkataan “Ah” dan janganlah kamu membentuk mereka dengan ucapkanlah kepada
mereka perkataan yang mulia:. (QS. Al Israa’: 23)
Apabila kedua orang tua
belum Islam, hendaklah dido’akan agar mendapat petunjuk dari Allah sehingga mau
masuk Islam. Jika keduanya telah meninggal, hendaklah dido’akan agar mendapat
ampunan di sisi-Nya, misalnya dengan lafal do’a:
رَبَّنَااغْفِرْلِى
وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ ( ابراهيم :
41)
“Ya Rab kami, ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sekalian
orang-orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari kiamat)”. (QS. Ibrahim:
41)
3. Berbuat baik kepada sesama manusia
Kewajiban berbuat baik
kepada sesama manusia telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya sebagai
berikut:
وَاعْبُدُ اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْابِه شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ
اِحْسَانًا وَبِذِى اْلقُرْبى وَالْيَتمى وَاْلمَسكِيْنِ وَالْجَارِذِى الْقُرْبى
وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيْلِ وَمَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالاً فَخُوْرًا ( النساء:
36)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apapun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (ibu bapak), karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, Ibnu Sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” (QS. An-Niosaa’:
36)
Selanjutnya Rasulullah SAW. Melarang kepada muslim untuk meremehkan,
menyakiti hati dan sebagainya. Sabda Rasulullah SAW.
اَلْمُسْلِمُ
اَخُوالْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهَ وَلاَيَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ التَّقْوى
هَاهُنَا وَيُشِيْرُ اِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ
الشَّرِّ اَنْ يَحْقِرَاَخَاهُ اْلمُسْلِمَ كُلُّ اْلمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ
حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ (رواه مسام )
“(Seorang) muslim adalah
saudara bagi muslim (lain), tidak boleh (seseorang) menganiyaya dia, tidak boleh
mengecewakan dia, tidak boleh menghinakan dia, Taqwa ada di sini! Dan beliau
memberikan isyarat ke dadanya tiga kali sambil bersabda: “Cukup jahat apabila
seseorang menghina saudaranya (muslim yang lain). Tiap Muslim terhadap Muslim
(yang lain) haram darahnya, harta, dan kehormatannya”. (HR. Muslim)
BERFIKIR
POSITIF (QONA’AH)
1. Pengertian:
Rela menerima dan merasa cukup
dengan apa yang dimiliki sehingga jauh dari sifat kurang yang berlebihan. Orang
qona’ah giat bekerja atau berusaha dan bila hasilnya kurang memuaskan, rela
menerima dengan syukur kepada Allah. Hikmah qona’ah adalah symbol rasa tentram
dalam hidup, sehingga terhindar dari sifat serakah dan tamak.
H.R. Muslim:
“Beruntung orang Islam, rezekinya cukup; dan merasa cukup dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya”.
Q.S Hud 6: “Dan tidaklah binatang yang melatapun
di bumi, kecuali ditentukan rizkinya oleh Allah”.
Jadi dengan demikian orang
yang qona’ah adalah yakin akan ketentuan Allah SWT. Pengertian harfiah dan
qona’ah adalah menerima cukup/menerima secara puas, apa adanya. Sedang
pengertian secara istilah adalah:
a. Menerima dengan rela apa adanya
b.
Menerima dengan sabar apa adanya
c. Memohon kepada Tuhan tambahan yang
pantas, dan berusaha
d. Bertawakal kepada Allah
e. Tidak tertarik oleh
tipu daya manusia
2. Qona’ah dalam kehidupan
a. Pengendalian hidup
sehingga tidak turut dalam keputusasaan dan tidak terlalu maju dalam
keserakahan
b. Qona’ah berfungsi sebagai stabilisator dan dinamisator dalam
hidup
1. Berfungsi sebagai stabilisator
- Berlapang dada dalam situasi dan
Kondisi apapun
- Berhati tentram
- Merasa kaya dan berkecukupan dalam
hidup sederhana
- Bebas dari keserakahan, karena kekayaan atau kemiskinan
terletak pada hati bukan terletak pada harta yang dimiliki
2. Berfungsi
sebagai dinamisator artinya qona’ah merupakan kekuatan bathin yang selalu
mendorong seseorang untuk meraih kemajuan hidup, berdasarkan kemandirian dan
tetap bergantung kepada karunia Allah SWT.
Berkenaan dengan cara hidup
qona’ah, marilah kita simak nasehat Nabi SAW kepada hakim sahabat beliau yang
segala permohonannya selalu diluluskan, tetapi kali berikutnya Nabi
menasehatinya.
يَاحَكِيْمٌ اِنَّ هدَالْمَالَ خُضْرٌ خُلْقٌ, فَمَنْ أَخَدَ
هُ بِسَحَاوَةٍ نَفْسٍ بُوْرِكَ لَهُ فِيْهِ فَمَنْ أَخَدَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ
لَمْ يَبَارِكْ لَهُ فِيْهِ وَكَانَ كَالَّدِيْ يَأكُلُ وَلاَ يَشْبَعْ
وَاْليَدُاْلعُلْيَاخَيْرٌ مِنَ اْليَدِ السُّفْلَ
Artinya: “Wahai hakim
sesungguhnya harta itu indah dan manis, barang siapa yang mengambilnya dengan
hati yang lapang dan ikhlas niscaya berkah baginya, akan tetapi barang siapa
yang mengambilnya dengan hati yang tamak atau rakus, pasti harta itu tidak
berkah baginya. Bagaikan orang yang makan yang tidak pernah kenyang-kenyangnya
ketahuilah bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.
Oleh
karena itu qona’ah adalah merupakan sikap hati dan mental yang memilikinya
diperlukan latihan dan kesabaran. Bila qona’ah dimiliki oleh seseorang niscaya
kebahagiaan dunia akan dinikmati dan kebahagiaan akhirat akan tercapai.
Sebagaimana Sabda Rasulullah SAW dalam sebuah haditsnya yang diriwayatkan oleh
Thabrani:
اَلْقَنَاعَةُ كَنْزٌ لاَيَفْنى
Artinya: “Qona’ah itu adalah
simpanan yang tak akan pernah lenyap”
Manfaat qona’ah dalam
kehidupan:
a. Bagi kehidupan pribadi:
1. Percaya akan kekuasaan Allah
SWT
2. Sabar dalam menerima ketentuan Allah SWT
3. Bersyukur bila
dipinjami nikmat Allah SWT
4. Berusaha bekerja, berikhtiar dan berdo’a serta
tawakal
b. Bagi kehidupan masyarakat:
1. Mengajak tidak membanggakan
diri dengan kekayaan sebab akan menimbulkan kecemburuan sosial
2. Membina
rasa puas dengan nikmat yang dikaruniakan Allah SWT
3. Menjauhkan sifat rakus
dan tamak, hingga akan terhindar dari kehendak untuk mengambil hak orang
lain
Dengan demikian, qona’ah adalah salah satu sikap terpuji yang harus
dimiliki oleh setiap orang muslim, yaitu sikap rela menerima dan merasa cukup
dengan apa yang dimiliki serta menjauhkan diri dari sikap tidak puas dan merasa
kurang yang berlebihan
Orang yang qona’ah adalah orang yang selalu giat
bekerja dan berusaha, namun apabila hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan, ia tetap bersikap positif yaitu rela menerima apa yang dihasilkannya
dengan penuh rasa syukur dan lapang dada.
Qona’ah berfungsi sebagai
stabilisator dan dinamisator hidup seorang muslim. Dengan qona’ah seorang muslim
akan bersikap positif terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, akan
terhindar dari sifat-sifat tercela, serakah dan putus asa, serta akan memiliki
semangat hidup untuk meraih kemajuan berdasarkan kemampuan diri dan
kemandirian.
AKHLAKUL MADZMUMAH
A. Hasud
1. Pengertian
Hasud
Hasud berarti membangkitkan hati seseorang supaya marah (melawan,
memberontak, dan sebaginya). dalam bahasa Arab disebut hasad yang berarti
dengki, sebagai wujud dan akibat rasa iri. Dengan demikian Hasud sama dengan
hasad. Orang yang suka berbuat Hasud disebut provokator. Sudah pasti sifat ini
amat tercela, baik dalam pandangan Allah maupun sesama manusia.
2. Hasud
adalah penyakit masyarakat
Hasutan yang disebarkan oleh provokator sering
menimbulkan gangguan dalam kehidupan masyarakat. Perbuatan anarkis yang berupa
pengrusakan toko, rumah dan tempat ibadah bahkan juga pembunuhan. Oleh karena
sebab itu, jelaslah kiranya Hasud merupakan penyakit dalam kehidupan
bermasyarakat, karena menimbulkan kerusakan dan kerugian yang tidak sedikit
jumlahnya. Selain merusak tatanan kehidupan bermasyarakat, hasud juga berakibat
buruk bagi pelakunya sendiri.
اِيَّا كُمْ وَاْلحَسَدَ فَإِنَّ اْلحَسَدَ
يَأْ كُلُ اْلحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ اْلحَطَبَ (رواه
أبوداود)
“Jagalah dirimu semua dari sifat dengki, karena kedengkian merusak
kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.” (HR. Abu Dawud)
B.
Ria
1. Pengertian Ria
Ria adalah pamer, yakni berbuat baik dengan maksud
ingin memperoleh pujian orang lain. Hal ini tidak sesuai dengan ajaran
Islam.
Islam mendidik umatnya agar melakukan amal baik secara ikhlas, yakin
karena Allah. Semata – mata Yang dimaksud karena Allah semata-mata ialah:
a.
Melakukan amal baik karena ingin memperoleh ridha Allah SWT
b. Melakukan amal
baik karena mentaati perintah Allah SWT
Amal baik yang dilakukan dengan
maksud tidak seperti di atas, dinyatakan tidak memperoleh pahala
Rasulullah
SAW bersabda:
أِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَانَوى .... رواه البخارى
“Sesungguhnya amal-amal itu harus dengan
niat dan sesungguhnya setiap (amal) seseorang tergantung kepada niatnya…..” (HR.
Bukhari dan Muslim)
2. Ria Merusak amal baik
Allah SWT
berfirman:
يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْالاِتُبْطِلُوْا صَدَ قَتِكُمْ
بِالْمَنِّ وَاْلأَذى كَالّذِيْ يُنْفِقُ مَالَه رِئَاءَ النَّاسِ وَلاَ يُؤْ مِنُ
بِااللهِ وَاْليَوْمِ اْلأَخِرِ قلى فَمَثَلُه كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ
فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَ كَهُ صَلْدًا قلى لاَيَقْدِرُوْنَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا
كَسَبُوْا قلى وَاللهُ لاَيَهْدِى اْلقَوْمَ اْلكَفِرِيْنَ (البقراة: 264)
“Hai
Orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya karena ria kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang diatasnya
ada tanah, kemudian batu itu tertimpa hujan lebat, lalu menjadilah ia bersih
(tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka
usahakan. Allah tidak memberi petunjuk kepada, orang-orang yang kafir.” (QS. Al
Baqarah: 264)
Selain merusak amal baik, ria juga termasuk perbuatan syirik
yang sangat dikhawatirkan oleh Rasulullah SAW.
Sabda Rasulullah
SAW:
اِنَّ اَخْوَفَ مَاأَخَافَ عَلَيْكُمُ اْلشِّرْكُ اْلأَصْغَرُ :
اَلرِّياءُ (رواه احمد)
‘Sesungguhnya sesuatu yang telah aku khawatirkan atas
kamu semua perkara yang aku khawatirkan ialah syirik kecil, yakni ria,” (HR
Ahmad)
C. Aniyaya
1. Pengertian aniyaya
Aniyaya berarti perbuatan
bengis, seperti penyiksaan, penindasan, dan sebagainya. Manusia diciptakan Allah
sebagai khalifah di muka bumi yang harus berbuat baik terhadap siapapun, bahkan
juga terhadap makhluk selain manusia.
Allah SWT berfirman
اِنَّ اللهَ
يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتَآءِ ذِى اْلقُرْبى وَيَنْهَى عَنِ
اْلفَحْشَآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَ كَّرُوْنَ
(النحل: 90)
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan kepada kaum kerabat dan Allah melarang (kamu) berbuat keji, Munkar,
dan permusuhan (aniyaya). Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran.” (QS. An-Nahl; 90)
Ayat di atas membuat tiga
perintah dan tiga larangan. Tiga perintah yang dimaksud ialah berlaku adil,
berbuat baik, dan membantu kerabat. Tiga larangannya ialah berbuat keji (maksiat
yang menjerumus perbuatan zina), Munkar (segala perbuatan buruk yang tidak dapat
diterima oleh hati nurani), dan permusuhan.
Aniyaya adalah salah satu bentuk
perbuatan yang menimbulkan permusuhan sesama manusia. Oleh sebab itu, perbuatan
aniyaya wajib dijauhi oleh setiap orang, terutama muslim.
2. Orang yang
teraniyaya memperoleh prioritas dari Allah SWT
Untuk memberikan keadilan
kepada manusia Allah SWT memberikan prioritas kepada orang yang dianiyaya bahwa
dia tidak berdosa apabila berkata buruk lagi keras.
Firman Allah
SWT:
لاَيُحِبُّ اللهُ اْلجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ اِلاَّ مَنْ
ظُلِمَ قلى وَكَانَ اللهُ سَمِيْعًاعَلِيْمًا (النساء : 148)
“Allah tidak
menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang
yang di aniyaya. Allah adalah (yang) Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS.
An-Nisaa’: 148)
Orang yang diperlakukan secara dhalim diperbolehkan
membalas kedhaliman tersebut seberat kadar yang ditimpahkan kepada
dirinya.
وَاٍنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوْابِمِثْلِ مَاعُوْقِبْتُمْ بِهِ قلى
وَلَئِنْ صَبَرْتُمْ لَهُوَ خَيْرٌ لِِصّبِرِيْنَ (النحل: 126)
“Dan jika kamu
memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang
ditimpakan kepadamu, akan tetapi, jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang
lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS. An-Nahl: 126)
3. Bahasa
perbuatan aniyaya
a. Bagi orang lain
Bahaya perbuatan aniyaya bagi orang
lain tergantung pada tingkat aniyaya yang ditimpakan pada dirinya.
Sekurang-kurangnya menimbulkan kekecewaan atau sakit hati pihak lain (yang
dianiyaya)
b. Bagi pelakunya sendiri
Perbuatan aniyaya menimbulkan
kegelapan bagi dirinya di hari kiamat
Rasulullah SAW
bersabda:
اَلظُّلْمُ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ (رواه البخارى و
مسلم)
“Kedhaliman adalah beberapa kegelapan di hari kiamat.” (HR. Bukhari dan
Muslim)
اِتَّقُوالظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ
(رواه مسلم)
“Jagalah dirimu dari kedhaliman, karena dhalim adalah beberapa
kegelapan di hari kiamat.” (HR. Muslim)
Yang dimaksud kegelapan di hari
kiamat adalah dosa yang memberatkan penderitaan seseorang di hari kiamat.
Mungkin seseorang masih dapat menyelamatkan diri dari akibat perbuatan dhalim di
dunia ini, tetapi tidak demikian halnya di akherat kelak
ADAB BERPAKAIAN,
BERHIAS, BERTAMU, DAN MENERIMA TAMU
A. Adab (Tata Krama) Berpakain
1.
Fungsi pakaian
Tuntunan Islam mengandung didikan moral yang tinggi. Dalam
masalah aurat, Islam telah menetapkan bahwa aurat lelaki adalah antara pusar
sampai kedua lutut, sedangkan bagi perempuan adalah seluruh tubuh kecuali muka
dan telapak tangan. Adanya aturan-aturan dalam berpakaian pada dasarnya untuk
menunjang ketiga fungsi berikut ini:
Fungsi pakaian ialah untuk penutup
aurat, menjaga kesehatan dan keindahan
2. Islam melarang umatnya
berpakaian terlalu tipis dan atau ketat (mepet sehingga membentuk tubuhnya yang
asli)
Kendatipun fungsi utama (sebagai penutup aurat) telah dipenuhi, tetapi
apabila pakaian yang terlampau tipis, pakaian yang ketat akan menampilkan bentuk
tubuh pemakainya, sedangkan pakaian yang terlampau tipis akan menampakan warna
kulit pemakainya. Kedua cara tersebut dilarang oleh Islam karena hanya akan
menarik perhatian yang menggugah nafsu syahwat bagi lawan jenisnya
Dalam hal
ini Rasulullah SAW, telah bersabda:
صِنْفَانِ مِنْ اَهْلِ النَّارِ لَمْ
اَرَهُمَا: قَوْمٌ سِيَاطٌ كَأَذْنَ بِ اْلبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَاالنَّاسَ
وَنَسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتُ مُمِيْلاَتٌ مَائِلاَتٌ رُءُوْ سُهُنَّ كَأَ
سُنِمَةِ اْلبُخْتِ اْلمَائِلَةِ لاَيَدْ خُلُنَ اْلجَنَّةَ وَلاَيَجِدْنَ
رِيْحَهَالَيُوْ جَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ كَذَاوَكَذَا (رواه مسلم)
“Ada dua
golongan dari ahli neraka yang belum pernah saya lihat keduanya, yaitu: 1. kaum
yang membawa cambuk seperti seekor sapi yang mereka pakai buat memikul orang
(penguasa yang kejam): 2. perempuan-perempuan yang berpakain tetapi telanjang,
yang cenderung kepada perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada
perbuatan maksiat, rambutnya sebesar punuk onta. Mereka itu tidak akan bisa
masuk jamaah (surga) dan tidak akan Mencium bau surga, Padahal bau surga itu
dapat tercium sejauh perjalanan demikian dan demikian.” (HR. Muslim).
3.
Kaum lelaki dilarang memakai cincin emas dan pakaian sutra
Khalifah Ali Bin
Abi Thalib berkata:
نَهَانِيْ رَسُوْاللهِ صلى الله عليه وسلم عَنِ
التَّخَتُّمُ بِالذَّهَبِ وَعَنْ لِبَاسِ اْلقِسِّىِّ وَعَنْ لِبَاسِ اْلمُعَصْفَرِ
(رواه الطبرانى)
“Telah melarang kami Rasulullah SAW, untuk memakai cincin
dari emas dan pakaian sutra serta pakaian yang dicelup dengan ashfar.” (HR
Tabrani)
Ashfar adalah bahan penguning (semacam wenter berwarna kuning)
yang banyak dipakai orang saat itu.
Ibnu Umar meriwayatkan:
رَأَى
رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَيَّ ثَوْ بَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَلَ:
اِنَّ هذِهِ مِنْ ثِيَابِ اْلكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسَهَا
“Rasulullah SAW pernah
melihat aku memakai dua pakaian yang aku celup dengan ashfar, maka Sabda beliau,
‘Ini adalah pakaian orang kafir, oleh karena itu janganlah engkau
Pakai’.”
B. Adab (Tata Krama) Berhias
Pada hakikatnya Islam
mencintai keindahan selama keindahan tersebut masih berada dalam batas yang
wajar dan tidak bertentangan dengan norma-norma agama. Beberapa ketentuan agama
dalam masalah perhiasan ini antara lain sebagai berikut:
1. Laki-laki
dilarang memakai cincin emas, sebagaimana larangan yang ditunjukan oleh
Rasulullah SAW, terhadap Ali RA.
2. Jangan bertato dan mengikir
gigi
Mengikir gigi ialah memendekan dan merapikan gigi (pangkur dalam bahasa
Jawa). Mengikir gigi banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan maksud agar
tampak rapi dan cantik. Dalam menyikapi hal ini, Rasulullah SAW
bersabda:
لَعَنْ رَسُلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اْلوَشِمَةَ
وَاْلمُسْتَوْشِمَةَ وَاْلوَاشِرَةَ وَاْلمُسْتَوْشِرَةَ (رواه
الطبرانى)
“Rasulullah SAW melaknat perempuan yang menatu dan minta ditatu,
yang mengikir dam yang minta dikikir giginya.” (HR Thabrani).
3. Jangan
menipiskan alis
Menipiskan alis banyak dilakukan oleh kaum perempuan agar
tampak lebih cantik
Dalam sebuah Hadits diriwayatkan:
لَعَنْ رَسُلُ
اللهِ صلى الله عليه وسلم النَّاصِمَةَ وَاْلمُتَنَصِّمَةَ (رواه
ابوداود)
“Rasulullah SAW melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya
dan meminta dicukur alisnya.” (HR Abu Dawud)
4. Jangan menyambung
rambut
Rasulullah bersabda:
لَعَنْ رَسُلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم
اْلوَاصِلَةَ وَاْلمُسْتَوْ صِلَةَ (رواه البخارى)
“Allah melaknat
perempuan-perempuan yang menyambung rambutnya dan yang meminta disambung
rambutnya.” (HR. Bukhari)
5. Jangan berlebih-lebihan dalam
berhias
Yang dimaksud berlebih-lebihan ialah melewati batas yang wajar dalam
menikmati yang halal. Berhias secara berlebih-lebihan cenderung kepada sikap
sombong dan bermegah-megahan yang amat tercela dalam Islam. Setiap muslim dan
muslimat harus dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan kesombongan,
baik dalam berpakaian maupun berhias dalam bentuk lain.
Memoles wajah dengan
bahan (make up) terlampau banyak, mengenakan perhiasan emas pada leher, kedua
tangan dan kedua kaki termasuk berlebih-lebihan.
Islam memperbolehkan umatnya
berhias secara wajar, tidak berlebih-lebihan yang cenderung kepada sikap sombong
dan pamer.
C. Adab (Tata Krama) Bertamu
1. Jangan bertamu pada tiga
waktu aurat
Allah SWT berfirman:
يَأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أمَنُوْالِيَسْتَأْذِ نَكُمُ الَّذِيْنَ مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ وَالَّذِيْنَ لَمْ
يَبْلُغُوْا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَثَ مَرَّاتٍ قلى مِنْ قَبْلِ صَلوةِ اْلفَجْرِ
وَحِيْنَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيْرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلوةِ اْلعِشآءِ
قلى طَوَّافُوْنَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ قلى كَذلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ
لَكُمُ اْلأيتِ قلى وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ (النور: 58)
“Hai orang-orang
yang beriman, hendaklah budak-budak (lekaki dan wanita) yang kamu miliki, dan
orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali
(dalam satu hari) yaitu sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan
pakaian (luar) mu di tengah hari, dan sesudah sembahyang isya, (itulah) tiga
aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari
(tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada
sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nuur: 58)
Bertamu pada
tiga waktu aurat (sebelum subuh, sesudah dhuhur, dan sesudah isya), termasuk
perkara yang dicela dalam Islam dan harus dijauhi, kecuali terpaksa (karena ada
urusan yang sangat penting.
2. Cara bertamu yang baik
Cara bertamu
yang baik menurut Islam antara lain sebagai berikut:
a. Berpakaian yang rapi
dan pantas
Bertamu dengan memakai pakaian pantas berarti menghormati tuan
rumah dan dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih
dihormati oleh tuan rumah, demikian pula sebaliknya.
Allah SWT
berfirman:
اِنْاَحْسَنَتُمْ أَحْسَنْتُمْ لأَِ نْفُسِكُمْ وَاِنْ أَسَأْ
تُمْ فَلَهَا ... (الاسراء:7)
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat
baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan0 itu bagi
dirimu sendiri ….” (QS. Al Israa: 7)
b. Memberi isyarat dan dalam ketika
datang
Allah SWT berfirman:
يأَيُّهَاالَّذِيْنَ أمَنُوْالاَتَدْ
خُلُوْا بُيُوْ تًا غيْرَ بُيُوْتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْ نِسُوْا
وَتُسَلِّمُوْاعَلَىأهْلِهَا ط ذلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَكُمْ تَذَكَّرُوْنَ
(النور: 27)
“Wahai orang yang beriman janganlah kamu memasuki rumah yang
bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang
demikian itu lebih baik bagimu supaya kamu selalu ingat.” (QS. An-Nuur:
27)
c. Jangan mengintip ke dalam rumah
d. Minta izin masuk
sebanyak-banyaknya 3 kali, apabila sudah mengetuk pintu atau membaca salam tiga
kali tidak ada tanggapan dari tuan rumah, harus kembali pulang
e.
Memperkenalkan diri secara jelas, baik nama, Alamat (terlebih bila bertamu pada
malam hari
f. Tamu lelaki dilarang masuk ke dalam rumah apabila tuan rumah
hanya seorang wanita
Rasulullah SAW bersabda:
لاَيَخْلُوَنَّ رَجُلٌ
بِامْرَأَةٍ اِلاَّ وَمَعَهَا ذُوْ مَحْرَمٍ وَلاَ تُسَافِرُ اْلمَرْاَةُ اِلاَّ
مَعَ ذِى مَحْرَمٍ (رواه البخارى و مسلم)
“Janganlah seorang laki-laki
bersepi-sepi bersama perempuan kecuali ia (perempuan tersebut) bersama
mahramnya. Jangan pula seorang perempuan berpergian kecuali apabila ia bersama
mahramnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
g. Masuk dan duduk dengan
sopan
Setelah tuan rumah mempersilahkan masuk, hendaklah tamu masuk rumah dan
duduk dengan sopan di tempat yang telah disediakan. Tamu hendaknya membatasi
diri, tidak memandang ke mana-mana secara bebas. Pandangan yang tidak dibatasi
(terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu
dapat dinilai sebagai orang yang tidak sopan, bahkan dapat dikira sebagai orang
jahat yang mencari-cari kesempatan.
h. Menerima jamuan tuan rumah dengan
senang hati
Apabila tuan rumah memberi jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan
tersebut dengan senang hati, tidak menampakan sikap tidak senang terhadap jamuan
tersebut. Jika sekiranya tidak suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berkata
terus terang bahwa dirinya tidak terbiasa menikmati makanan dan minuman seperti
itu.
D. Adab Menerima Tamu
1. Berpakaian yang pantas untuk menghormati
tamu dan diri sendiri
2. Menerima tamu dengan sikap yang baik, sikap
bersahabat, jangan sekali-kali memalingkan muka dirinya
3. Menjamu tamu
sesuai kemampuannya, tidak mengada-ada yang dapat menyusahkan diri
sendiri
Kewajiban menerima tamu adalah sehari – semalam. Selebihnya adalah
sedekah bagi tuan rumah
4. antarkan tamu (saat pulang) sampai pintu halaman
rumah
5. Wanita yang berada di rumah sendirian dilarang menerima tamu
laki-laki masuk ke dalam rumahnya tanpa ada izin sebelumnya dari suami (kecuali
masih mahramnya)
Bagi suami pun hendaknya bersikap hati-hati agar tidak
terjadi sesuatu yang tidak diinginkan
DISIPLIN
A. Disiplin Dalam
Kehidupan Pribadi
Disiplin adalah kepatuhan untuk menghormati dan
melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk pada keputusan,
perintah atau peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, disiplin adalah sikap
mentaati peraturan dan ketentuan yang ditetapkan, tanpa pamrih.
Dalam ajaran
Islam banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits, yang memerintahkan disiplin dalam
ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An-Nisa ayat
59:
ياَيُّهَاالَّذِمْنَ امَنُوْااَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ
وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ... (النساء 59)
Artinya : “ Hai orang-orang yang
beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri di antara kamu …”
(An Nisa 59)
Disiplin adalah kunci sukses, sebab dengan disiplin akan
tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha, pantang
mundur dalam kebenaran dan rela berkorban untuk kepentingan pribadi dan
kehidupan masyarakat maupun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.
Disiplin dalam penggunaan waktu
Disiplin dalam menggunakan waktu diperhatikan
dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin akan kembali lagi, hari
yang sudah lewat tak akan datang lagi. Demikian pentingnya arti waktu sehingga
berbagai bangsa di dunia mempunyai ungkapan yang menyatakan “waktu adalah uang”,
peribahasa arab menyatakan “waktu adalah pedang”, dan “waktu adalah emas”, dan
kita orang Indonesia menyatakan: “sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak
berguna”
Marilah kita bayangkan, seandainya ada seorang yang pada waktu
Belajar di rumah masih terus bermain-main, sebaliknya pada waktu tidur, ia
gunakan untuk bergadang semalaman suntuk. Tentu dapat kita lihat bahwa hidupnya
menjadi tidak teratur, karena ia tidak pandai menggunakan waktu dengan tepat.
Oleh karena itu marilah kita lebih menghargai waktu dengan cara disiplin dalam
merencanakan, mengatur, dan menggunakan waktu, yang Allah karuniakan kepada kita
tanpa dipungut biaya.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil
mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan
berdisiplin memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya,
akan tetapi melalui latihan yang ketaatan dalam kehidupan pribadinya.
2.
Disiplin dalam beribadah
Menurut bahasa, ibadah berarti tunduk atau
merendahkan diri. Pengertian yang lebih luas dalam ajaran Islam, ibadah berarti
tunduk dan merendah diri hanya kepada Allah yang disertai perasaan cinta
kepada-Nya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa disiplin dalam
beribadah itu mengandung dua hal:
a. Berpengang teguh terhadap apa yang
diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik berupa perintah atau larangan, maupun
ajaran-ajaran yang berifat halal, anjuran sunnah, atas makruh dan haram
b.
Sikap berpengang teguh yang berdasarkan cinta kepada Allah, bukan karena rasa
takut atau terpaksa. Maksud cinta kepada Allah adalah senantiasa taat
kepada-Nya, dan taat kepada Rasul-Nya. Perhatikan firman Allah:
قُلْ اِنْ
كُنْتُمْ تُحِيْبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْ نِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ
لَكُمْ ذُنُوْ بَكُمْ قلى وَاللهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ (ال عمران: 31)
Artinya:
“Katakanlah jika kamu (benar-benar) mencintai Allah ikutlah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(Ali Imran 31)
Sebagaimana telah kita ketahui, ibadah itu dapat
digolongkan menjadi dua, yakni:
a. Ibadah mahdah (murni) yaitu bentuk ibadah
yang langsung berhubungan dengan Allah
b. Ibadah ghairoh mahdah (selain
mahdah), yang tidak langsung dipersembahkan kepada Allah melainkan melalui
hubungan kemanusiaan.
Dalam ibadah (disebut juga ibadah khusus)
aturan-aturannya tidak boleh semuanya akan tetapi harus mengikuti aturan yang
sudah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Orang yang mengada-ada aturan baru,
misalnya shalat subuh tiga rakaat atau puasa 40 hari terus menerus tanpa
berbuka, adalah orang yang tidak disiplin dalam beribadah, karena ia tidak
mematuhi aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia termasuk
orang yang berbuat bid’ah dan tergolong sebagai orang yang sesat.
Dalam
ibadah ghairoh mahdhah (disebut juga ibadah umum) orang dapat menentukan
aturannya yang terbaik, kecuali yang jelas dilarang oleh Allah. Tentu saja suatu
perbuatan dicatat sebagai ibadah kalau niatnya ikhlas semata-mata karena Allah,
bukan ingin mendapatkan pujian orang lain (riya’)
3. Disiplin Dalam
Berlalu Lintas
Tanggal 1 Desember 1993 merupakan hari bersejarah dalam
berlalu lintas di Indonesia, karena pada tanggal tersebut UU nomor 14 tahun 1992
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya mulai diberlakukan secara efektif di
seluruh wilayah nusantara. Dengan Undang-undang tersebut, diharapkan semua warga
negara mentaati dengan penuh kesadaran dan keikhlasan. Bagi umat Islam masalah
ketaatan terhadap berbagai peraturan termasuk peraturan lalu lintas bukanlah hal
yang asing, karena banyak ayat Al-Qur'an dan Hadits yang mengandung perintah
untuk bersikap taat.
Firman Allah SWT dalam surat An Nisa
59:
ياَيُّهَاالَّذِمْنَ امَنُوْااَطِيْعُوااللهَ وَاَطِيْعُواالرَّسُوْلَ
وَاُولِى اْلاَمْرِ مِنْكُمْ ... (النساء 59)
Artinya: “Hai orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya) dan ulil amri di antara kamu …. (An Nisa
59)
Ayat tersebut menegaskan bahwa sebagai orang beriman di samping harus
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, juga harus taat kepada Pemimpin atau
pemerintah. Hal ini dipertegas oleh Rasulullah SAW dalam sabdanya yang artinya:
“Barang siapa yang taat kepadaku maka ia benar-benar telah taat kepada Allah,
dan barang siapa yang durhaka kepadaku maka ia benar-benar telah durhaka kepada
Allah. Barang siapa yang taat kepada penguasa maka ia benar-benar taat kepadaku,
dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa maka ia benar-benar telah durhaka
kepadaku”. (H.R Bukhari dan Muslim)
Dalam Hadits lain Rasulullah SAW bersabda
yang artinya: “Seseorang muslim wajib mendengar dan taat, baik dalam hal yang
disukai maupun hal yang dibencinya, kecuali bila ia diperintah untuk mengerjakan
maksiat. Apabila ia diperintah untuk mengerjakan maksiat, maka ia tidak wajib
untuk mendengarkan dan taat” (HR. Bukhari dan Muslim)
berdasarkan ayat
Al-Qur'an dan Hadits Nabi di atas, jelas sekali bahwa ajaran Islam tentang
disiplin mengandung ketaatan pada peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah
adalah suatu hal yang harus dilaksanakan yaitu melaksanakan disiplin bukan
karena diawasi oleh petugas, tetapi karena merupakan tuntunan ajaran
agama.
Oleh karena itu, kita sebagai seorang muslim sekaligus sebagai warga
negara yang baik sudah seharusnya ikut aktif dalam menciptakan tertib lalu
lintas dengan mematuhi dan melaksanakan segala aturan yang tertuang dalam
undang-undang tersebut.
B. Disiplin Dalam Bermasyarakat
Hidup
bermasyarakat adalah fitrah manusia. Dilihat dari latar belakang budaya setiap
manusia memiliki latar belakang yang berbeda pula. Karenanya setiap manusia
memiliki watak dan tingkah laku yang berbeda, namun dengan bermasyarakat, mereka
tentu memiliki norma-norma dan nilai-nilai kemasyarakatan serta peraturan yang
sedang disepakati bersama, yang harus dihormati dan dihargai serta ditaati oleh
setiap anggota masyarakat itu. Kita sebagai manusia yang lahir sebagai bangsa
Indonesia yang religius dan berfalsapahkan pancasila, tentunya kita harus
mentaati dan mematuhi nilai-nilai dan norma-norma serta adat yang berlaku pada
masyarakat kita. Sesuai dengan naluriah kemanusiaan, tiap anggota masyarakat
ingin lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompoknya
Sekiranya tidak
ada aturan yang mengikat di antara mereka dalam bermasyarakat dari ketentuan
yang telah digariskan oleh agama, niscaya kehidupan mereka akan kacau balau,
karena setiap pribadi dan kelompok akan membanggakan diri pribadi dan
kelompoknya masing-masing.
Berdasarkan kenyataan ini, maka agama Islam
menegaskan bahwa manusia yang paling berkualitas di sisi Allah bukanlah karena
keturunan atau kekayaan, akan tetapi berdasarkan ketaqwaannya. Ketaqwaan yang
merupakan perwujudan dari kedisiplinan yang tinggi dalam mematuhi perintah Allah
dan menjauhi larangan – larangan-Nya, bukanlah suatu pembawaan dan bukan pula
suatu harta pustaka yang dapat diwariskan melalui garis keturunan
Agama Islam
mengibaratkan anggota masyarakat itu Bagaikan satu Bangunan yang di dalamnya
terdapat beberapa komponen yang satu sama lain mempunyai fungsi yang berbeda –
beda, manakala salah satu komponen itu rusak, maka seluruh Bangunan itu akan
rusak atau binasa. Hadits Nabi SAW menegasakan:
اَلْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ
كَالْبُنْيَانِ يَشُدَّ بَعْضُهُ بَعْضًا, وَشَبَّكَ بَيْنَ اَصَابِعِهِ (رواه
البخارى و مسام والترمذى)
Artinya: “Seorang mu’min dengan mu’min lainnya
Bagaikan Bangunan yang sebagahagian dari mereka memperkuat bahagian lainnya.
Kemudian beliau menelusupkan jari-jari yang sebelah ke jari-jari tangan sebelah
lainnya”. (H.R Bukhari Muslim dan Turmuzi)
C. Disiplin Dalam Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara
Negara adalah alat untuk memperjuangkan keinginan
bersama berdasarkan kesepakatan yang dibuat oleh anggota atau warga negara
tersebut. Tanpa adanya masyarakat yang menjadi warganya, negara tidak akan
terwujud. Oleh karena itu masyarakat prasarat untuk berdirinya suatu negara.
Tujuan dibentuknya suatu negara ialah agar seluruh keinginan dan cita-cita yang
diidamkan oleh warga negara yang dapat diwujudkan dan dapat dilaksanakan.
Anggota masyarakat suatu negara adakalanya mempunyai latar belakang budaya dan
agama yang sama, dan ada pula yang terdiri atas budaya dan agama yang beragam.
Dalam membentuk negara yang baik, beragamnya budaya bukanlah merupakan
persoalan. Karena keberadaan latar belakang budaya tidak akan menghambat suatu
masyarakat untuk membangun negaranya. Bahkan dengan adanya perbedaan tersebut
semakin memperkaya perbendaharaan pemikiran dan pengetahuan suatu masyarakat.
Kunci keberhasilan suatu negara terletak pada kedisiplinan berupa kesetiaan dan
kesungguhan warga negaranya melaksanakan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Berkaitan dengan hal di atas maka di negara Indonesia yang mayoritas penduduknya
beragama Islam, sudah selayaknya jika umat Islam mempelopori meningkatkan
disiplin nasional dalam bentuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan
yangberlaku, sesuai dengan fungsi dan tugasnya masing-masing.
1 comment:
ngga bisa di copas nya
Post a Comment