Sunday, December 11, 2011

Amil zakat


Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang bekerja di kantor amil zakat.”

‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka adalah orang-orang yang kaya.”

Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat. Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan dari zakat.”

Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan oleh pihak tertentu.
READ MORE - Amil zakat
READ MORE - Amil zakat

Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8




Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan.” (Qs. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata “innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan tersebut, tidak untuk yang lainnya.

Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.

Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.

Para ulama berselisih pendapat manakah yang kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin. Ulama lainnya berpendapat miskin lebih parah dari fakir.

Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.

Golongan kedua: amil zakat.

Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam sebuah hadits disebutkan


“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat, lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”

Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia lakukan.

Golongan ketiga: orang yang ingin dilembutkan hatinya.

Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi golongan ini adalah muslim dan kafir.

Contoh dari kalangan muslim:
Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya. Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk masuk Islam.

Contoh dari kalangan kafir:
Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.

Golongan kelima: pembebasan budak.

Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah: (1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]

Golongan keenam: orang yang terlilit utang.

Yang termasuk dalam golongan ini adalah:

Pertama: Orang yang terlilit utang demi kemaslahatan dirinya.

Namun ada beberapa syarat yang harus dipenuhi:
Yang berutang adalah seorang muslim.
Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan orang yang bersengaja berutang untuk mendapatkan zakat.
Utang tersebut membuat ia dipenjara.
Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga, bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan (seperti rumah) untuk melunasi utangnya.

Golongan ketujuh: di jalan Allah.

Yang termasuk di sini adalah:

Pertama: Berperang di jalan Allah.

Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan fakir atau miskin.

Kedua: Untuk kemaslahatan perang.

Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan, penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.

Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang kehabisan bekal di perjalanan.

Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.
READ MORE - Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8
READ MORE - Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8

Yang Tidak Berhak Menerima Zakat


Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Zakat tidak boleh disalurkan kepada orang yang terbukti mempunyai hubungan nasab (darah) dengan Nabi saw. karena mereka memiliki sumber pemasukan lain dalam syariat Islam, yaitu dari seperlima harta rampasan perang.
Zakat tidak boleh dibayar kepada orang yang wajib dinafkahi oleh si pembayar zakat. Zakat tidak boleh dibayar kepada selain orang muslim kecuali yang dikhususkan untuk jatah golongan orang-orang mualaf.

Mentransfer Zakat Keluar Daerah Pemungutan

Walaupun zakat merupakan salah satu dasar terciptanya solidaritas sosial di seluruh wilayah negara Islam dan juga sebagai sumber dana untuk dakwah dan usaha mempekenalkan hakikat ajaran Islam selain untuk membantu para tentara yang berjuang merebut kemerdekaan negeri Islam namun telah menjadi ketentuan pokok berdasarkan hadis dan sunah para khulafaurrasyidin untuk memulai menyalurkan harta zakat itu kepada orang-orang mustahik yang ada di dalam wilayah pemungutannya. Kemudian sisanya baru dialihkan ke wilayah lain kecuali bila terjadi musibah kelaparan, bencana alam atau kebutuhan yang sangat mendesak, maka ketika itu zakat boleh dialihkan kepada yang lebih membutuhkan. Prinsip ini dapat diterapkan pada tingkat perorangan maupun kelompok masyarakat.

Pengalihan zakat dari suatu wilayah ke wilayah lain itu berdasarkan ketentuan-ketentuan berikut ini:
Pada dasarnya zakat disalurkan di tempat harta yang dizakati, bukan di tempat si pembayar zakat sehingga harta itu boleh dialihkan dari tempatnya untuk kemaslahatan yang lebih besar.

Di antara maslahat pengalihan zakat itu adalah:
Dialihkan ke wilayah-wilayah tempat terjadinya perang fisabilillah.
Dialihkan ke lembaga-lembaga dakwah dan pendidikan maupun pusat kesehatan yang termasuk delapan golongan yang berhak menerima zakat.
Dialihkan ke negara-negara Islam manapun yang mengalami musibah kelaparan dan bencana alam.
Dialihkan ke kaum kerabat si pembayar zakat yang berhak menerima zakat (mustahik).

Mengalihkan zakat keluar wilayah pemungutan selain dalam kondisi yang disebutkan di atas tidak menghalangi sahnya pembayaran zakat tetapi makruh dengan syarat harta itu tetap disalurkan kepada orang-orang di antara delapan kelompok masyarakat yang mustahik.
Yang dimaksud dengan daerah pemungutan zakat ialah daerah tempat zakat itu dipungut dan negeri-negeri lain yang ada di sekitarnya yang jauhnya kurang dari jarak salat kasar (kurang lebih 82 kilometer) karena hal itu dianggap termasuk wilayah satu negeri.

Tindakan-tindakan yang boleh dilakukan dalam pengalihan harta zakat:
Mempercepat pembayaran zakat sebelum akhir haul, selama masa waktu yang dibutuhkan untuk pendistribusian zakat tersebut kepada mustahik, terhitung mulai dari haul itu sempurna jika harta itu telah memenuhi syarat wajib.
Menunda pembayaran selama masa waktu yang dibutuhkan untuk mengalihkan zakat tersebut.
READ MORE - Yang Tidak Berhak Menerima Zakat
READ MORE - Yang Tidak Berhak Menerima Zakat

Friday, December 2, 2011

syarat WAQAF


WAQAF menurut etimologi berarti berhenti/menahan. Menurut istilah tajwid berarti memutuskan suara di akhir kata untuk bernafas sejenak dengan niat meneruskan bacaan selanjutnya.

syarat WAQAF sebagai berikut:
1. Warganegara Inadonesia
2. Beragama Islam.
3. sudah dewasa,
4. sehatrohani dan jasmani.
5. tidak berada dibawah pengampuan,
6. bertempat tinggal dikecamatan tempat letak benda yang diwakafkan.
7. Jika berbentuk badan Hukum maka nadzir harus badan hukum indonesia dan berkedudukan di Indonesia,mempunyai perwalian di kecamatan tempat letak benda wakaf yang diwakafkan.
8. Nadzir sebelum melaksanakan tugasnya, harus mengucapkan sumpah dihadapan kepala Kantor Urusan Agama kecamatan disaksikan sekurang kuarangnya dua orang saksi’
9. Jumlah Nadzir sekurang kurangnya tiga orang dan sebanyak banyaknya 10 orang.
READ MORE - syarat WAQAF
READ MORE - syarat WAQAF

Macam mudharabah


Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.

Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.

Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.

Macam mudharabah yaitu

Mudharabah muthlaqoh
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf)
Mudharabah muqoyyadah.
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya
READ MORE - Macam mudharabah
READ MORE - Macam mudharabah

Prinsip dasar Mu’amalah


Prinsip dasar Mu’amalah:

الأصل في المعاملة الإباحة إلا ما دلّ الدليل علي خلافه

“Pada dasarnya mu’amalah itu boleh kecuali ada dalil yang menyelisihinnya (melarangnya)”.

Timbul persoalan di seputar batasan mu’amalah; apakah semua persoalan yang ada di luar ibadah mahdlah (selain shalat, puasa, haji, zakat, dzikir dan do’a) itu termasuk muamalah, meskipun ditegaskan dalam nash secara tegas (sharih)? Ataukah yang dinamakan muamalah hanyalah hal-hal yang tidak ada ada ketegasan dari Allah dan Rasul-Nya?

Dari pemahaman yang ada tentang muamalah akan memberikan dampak yang berbeda ketika hukum diterapkan dalam realitas kehidupan. Orang yang berpandangan pertama akan lebih luas dalam memandang persoalan (kontekstual), sementara yang kedua sangat kaku (tekstual).

Muamalah adalah Sunnah Para Nabi
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Syekh Abdul Sattar menyimpulkan bahwa hukum muamalah adalah sunnah para Nabi sepanjang sejarah.

وهذه سنة مطردة في الانبياء عليهم السلام كما قال تعالى

Artinya : Muamalah ini adalah sunnah yang terus-menerus dilaksanakan para Nabi AS, (hlm.16), sebagaimana firman Allah

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Artinya :
Sesungguhnya kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca keadilan supaya manusia dapat menegakkan keadilan itu.
Pengertian Muamalah
Pengertian muamalah pada mulanya memiliki cakupan yang luas, sebagaimana dirumuskan oleh Muhammad Yusuf Musa, yaitu Peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan dita’ati dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia”. Namun belakangan ini pengertian muamalah lebih banyak dipahami sebagai“Aturan-aturan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam memperoleh dan mengembangkan harta benda”atau lebih tepatnya “aturan Islam tentang kegiatan ekonomi manusia”

Ruang Lingkup Muamalah
1. Harta, Hak Milik, Fungsi Uang dan ’Ukud )akad-akad)
2. Buyu’ (tentang jual beli)
3. Ar-Rahn (tentang pegadaian)
4. Hiwalah (pengalihan hutang)
5. Ash-Shulhu (perdamaian bisnis)
6. Adh-Dhaman (jaminan, asuransi)
7. Syirkah (tentang perkongsian)
8. Wakalah (tentang perwakilan)
9. Wadi’ah (tentang penitipan)
10. ‘Ariyah (tentang peminjaman)
11. Ghasab (perampasan harta orang lain dengan tidak shah)
12. Syuf’ah (hak diutamakan dalam syirkah atau sepadan tanah)
13. Mudharabah (syirkah modal dan tenaga)
14. Musaqat (syirkah dalam pengairan kebun)
15. Muzara’ah (kerjasama pertanian)
16. Kafalah (penjaminan)
17. Taflis (jatuh bangkrut)
18. Al-Hajru (batasan bertindak)
19. Ji’alah (sayembara, pemberian fee)
20. Qaradh (pejaman)
21. Ba’i Murabahah
22. Bai’ Salam
23. Bai Istishna’
24. Ba’i Muajjal dan Ba’i Taqsith
25. Ba’i Sharf dan transaksi valas
26. ’Urbun (panjar/DP)
27. Ijarah (sewa-menyewa)
28. Riba, konsep uang dan kebijakan moneter
29. Shukuk (surat utang atau obligasi)
30. Faraidh (warisan)
31. Luqthah (barang tercecer)
32. Waqaf
33. Hibah
34. Washiat
35. Iqrar (pengakuan)
36. Qismul fa’i wal ghanimah (pembagian fa’i dan ghanimah)
37. ََََََُQism ash-Shadaqat (tentang pembagian zakat)
38. Ibrak (pembebasan hutang)
39. Muqasah (Discount)
40. Kharaj, Jizyah, Dharibah,Ushur
41. Baitul Mal dan Jihbiz
42. Kebijakan fiskal Islam
43. Prinsip dan perilaku konsumen
44. Prinsip dan perilaku produsen
45. Keadilan Distribusi
46. Perburuhan (hubungan buruh dan majikan, upah buruh)
47. Jual beli gharar, bai’ najasy, bai’ al-‘inah, Bai wafa, mu’athah, fudhuli, dll.
48. Ihtikar dan monopoli
49. Pasar modal Islami dan Reksadana
50. Asuransi Islam, Bank Islam, Pegadaian, MLM, dan lain-lain
READ MORE - Prinsip dasar Mu’amalah
READ MORE - Prinsip dasar Mu’amalah

Pengertian Fiqih


Fiqh (الفقه) adalah bahasa Arab dalam bentuk mashdar (kata dasar) yang fi’il-nya (kata kerjanya) adalah فقه يفقه فقها. Kata fiqh semula berarti العلم (pengetahuan) dan الفهم (pemahaman). Al-fiqh, al-‘ilm dan al-fahm merupakan kata-kata yang sinonim. Dalam bahasa Arab dikatakan:

فلان يفقه الخير و الشر

“Si fulan mengetahui dan memahami kebaikan dan keburukan”.

Al-Jurjani mengatakan bahwa al-Fiqh menurut bahasa berarti:

فهم غرض المتكلم عن كلامه

“Memahami maksud pembicara dari perkataannya”.

Tetapi Imam muhammad Abu Zahrah sedikit membedakan antara lafadz “al-Fiqh” dengan “al-Fahm”. Beliau mengatakan bahwa al-Fiqh berarti:

الفهم العميق النافذ الذي يتعرف عليك الأقوال والأفعال

“Pemahaman yang mendalam lagi tuntas yang dapat menunjukkan tujuan dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan”.

Dalam al-Qur’an banyak digunakan kata al-Fiqh dengan arti mengetahui dan memahami secara umum, sebagaimana tersebut di atas dengan berbagai perubahan bentuknya, di antaranya adalah:

فما ل هؤلاء القوم لا يكادون يفقهون حديثا

“Mengapa kaum munafiq itu hampir tidak dapat memahami hakikat kebenaran…”. (QS. Al-Nisa`: 78)

قالوا يا شعيب ما نفقه كثيرا مما تقول

“…Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak begitu mengerti tentang apa yang engkau bicarakan…”. (QS. Hud: 91)

وطبع علي قلوبهم فهم لا يفقهون

“…Karena itu Tuhan menutup hatinya, sehingga mereka tidak mengerti”. (QS. Al-Taubah: 87)

فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين

“…Mengapa tidak berangkat pula dari tiap-tiap golongan itu satu rombongan lain untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…”? (QS. Al-Taubah: 122)

Demikian pula sabda Rasulullah SAW:

من يرد الله خيرا يفقهه في الدين

“Barang siapa dikehendaki Allah mendapat kebaikan, niscaya Allah akan berikan kepadanya mengerti tentang agama”.

Jelaslah bahwa kata al-Fiqh menurut bahasa, dari semua ayat dan hadits di atas, berarti pengetahuan, pemahaman dan pengertian terhadap sesuatu secara mendalam. Pengertian ini sangat luas karena meliputi aqidah, ‘ibadah, mu’amalah dan akhlak.

Pengertian Fiqih Secara Terminologi

Secara istilah (terminologi), fiqh didefinisikan secara eksklusif yang terbatas pada hukum-kuhum yang praktis (‘amali) yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili). Definisi tersebut bisa dilihat berikit ini:

Imam Abu Zahrah mengatakan bahwa al-Fiqh adalah:

العلم بالأحكام الشرعية العملية من أدلتها التفصيلية

“Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali)yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Abdul Wahab Khalaf mengemukakan bahwa al-Fiqh adalah:

العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسبة من أدلتها التفصيلية

“Ilmu yang menjelaskan hukum-hukum syara’ yang praktis (‘amali) yang diusahakan dari dalil-dalil yang terperinci (tafsili)”.

Lebih jelas lagi imam Abu Hamid al-Ghazali (wafat tahun 5O5 H) mendefinisikan al-Fiqh sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang ditetapkan secara khusus bagi perbuatan-perbuatan para manusia (mukallaf) seperti wajib, haram, mubah, sunnah, makruh, perikatan yang sahih (sah), perikatan yang fasid (rusak) dan yang batal, serta menerangkan tentang ibadah yang dilaksanakan secara qada’ (pelaksanaannya di luar ketentuan waktunya) dan hal-hal lain semacamnya.

Jadi, hukum-hukum syara’ yang praktis yang lahir sebagai hasil dari dalil-dalil yang terperinci itu dinamakan al-Fiqh, baik ia dihasilkan dengan melalui ijtihad ataupun secara langsung hasil pemahaman terhadap teks al-Qur’an dan as-Sunnah. Jelaslah bahwa hukum-hukum yang berkaitan dengan aqidah dan akhlak tidak termasuk dalam pembahasan ilmu fiqih.

Obyek Kajian Ilmu Fiqih

Yang menjadi obyek kajian ilmu fiqih adalah segala perbuatan, perkatan dan tindakan mukallaf (orang muslim yang mampu dibebani hukum, sudah baligh, tidak gila) dari segi hukum, termasuk hukum-hukum yang mensifati perbuatan para mukallaf itu, seperti wajib, sunnah, makruh, mubah, sah, batal, ada’, qada’ dan lain sebagainya.

Menurut Muh. Salim Madkur, hukum-hukum praktis (‘amaliyah) yang lahir dari perbuatan, perkataan dan tindakan para mukallaf itu pada garis besarnya ada dua bagian, yaitu:

1. Yang berkaitan dengan hubungan antara mukallaf dengan Allah SAW. dinamakan dengan “fiqih ibadah”.
2. Yang berkaitan dengan perbuatan Mukallaf secara individual dan bermasyarakat dinamakan dengan “fiqih mu’amalah”.
READ MORE - Pengertian Fiqih
READ MORE - Pengertian Fiqih
.::BY JUMBHO-MY AT HOME IN THE JEPARA CITY OF BEAUTIFUL::.