Tuesday, February 23, 2010

Tayamum


Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih.
Tayammum dilakukan sebagai pengganti wudhu (adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim dwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat) atau mandi wajib adalah cara untuk menghilangkan hadats besar, yaitu dengan cara membasuh seluruh tubuh mulai dari atas kepala hingga ujung kaki.
Tayamum yang telah dilakukan bisa batal apabila ada air dengan alasan tidak ada air atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak dapat menggunakan air tetapi tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain seperti yang membatalkan wudu dengan air.

Syariat tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad n, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya sebagaimana dinyatakan Rasulullah Subhanahu Wata’ala dalam sabda beliau (yang artinya): “Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521)

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menerangkan bahwasanya tayamum merupakan rukhshah (keringanan) dan keutamaan yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan secara khusus kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’ 2/239)

B. Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
- Dalam perjalanan jauh
- Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
- Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
- Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
- Air yang ada hanya untuk minum
- Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
- Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
- Sakit dan tidak boleh terkena air

C. Syarat Sah Tayamum :
- Telah masuk waktu salat
- Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
- Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
- Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
- Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
- Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh

D. Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :
- Membaca basmalah
- Menghadap ke arah kiblat
- Membaca doa ketika selesai tayamum
- Medulukan kanan dari pada kiri
- Meniup debu yang ada di telapak tangan
- Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

E. Rukun Tayamum :
- Niat Tayamum.
- Menyapu muka dengan debu atau tanah.
- Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.

F. Tata Cara / Praktek Tayamum :
1. Membaca basmalah
2. Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
3. Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
4. Niat tayamum : Nawaytuttayammuma listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala (Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala).
5. Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
6. Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
7. Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
8. Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
9. Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri

BERNIAT 
Setiap perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat, demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus disertai niat karena Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Hanyalah amalan-amalan itu tergantung dengan niatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)

Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan.

Dalam masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60)

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata: “Niat dalam tayammum adalah wajib menurut kami tanpa adanya perselisihan.” (Al Majmu’, 2/254)

Al-Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah berkata: “Tidak diketahui adanya perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i dan Al-Hasan bin Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158)

MEMUKULKAN DUA TELAPAK TANGAN KE TANAH/DEBU DENGAN SEKALI PUKULAN

Ulama berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali pukulan ke permukaan bumi. Di antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad, ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits. Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2). Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam.

Hal ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar Rahiyallahu ‘Anhu dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183)

Namun para imam menghukumi hadits ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘Anhu. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal. 341): “Dha’if.”

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata: “Hadits-hadits menyebutkan tentang sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim ibnul Harits Al-Anshari dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih tidak ada yang marfu’.” (Fathul Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208.

Al-Imam Ash-Shan‘ani Rahimahullah berkata: “Ada beberapa riwayat yang semakna dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf atau dha’if (lemah).” (Subulus Salam, 1/149)

Dalam hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2)

Selain itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian: sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah: “Aku tidak mendapatkan dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368)

MENIUP ATAU MENGIBASKAN DEBU DARI DUA TELAPAK TANGAN

Dibolehkan meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan, berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya.

Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent). (Syarah Shahih Muslim, 4/62)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah setelah membawakan hadits tentang meniup ini, beliau berkata: “(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554)

Kata Ibnu Qudamah Rahimahullah: “Apabila pada kedua tangan seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu disebutkan bahwa setelah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam Ahmad Rahimahullah menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155)

MENGUSAP WAJAH TERLEBIH DAHULU KEMUDIAN MENGUSAP DUA TELAPAK TANGAN

Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dan pengikut-pengikut beliau berpandangan mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4).

Al-’Allamah Asy-Syinqithi Rahimahullah berkata: “Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya Al-Imam Malik Rahimahullah dan mayoritas pengikut beliau berpandangan mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.”

Sementara Al-Imam Ahmad Rahimahullah dan yang sependapat dengannya berpandangan mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4)

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata: “Mayoritas ulama mendahulukan mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul Bari, 1/440)

Namun yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam, sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan, karena adanya dua alasan berikut ini:

Pertama: Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad Rahimahullah berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90).

Kedua: Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Maka usaplah wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” (Al-Maidah: 6)

Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu Wata’ala mendahulukan wajah dari tangan sementara kita tahu bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda (yang artinya): “Aku memulai dengan apa yang Allah mulai.” (HR. Muslim no. 1218)

Dalam riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah: “Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913)

Ketika Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan hadits di atas beliau kemudian membaca ayat Allah (yang artinya): “Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158)

Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam di atas.

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah berkata setelah menyebutkan hadits ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu dalam riwayat Al-Bukhari no. 347: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak disyaratkannya berurutan dalam tayammum.” (Fathul Bari, 1/569)

Dengan adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru tangan[5] -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain, maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu a’lam.

BATASAN TANGAN YANG HARUS DIUSAP

Dalam hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97)

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke siku. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf.

Ibnul Qayyim Rahimahullah berkata: “Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan, dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku. Al-Imam Ahmad Rahimahullah menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50)

Ada pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). Ibnu Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau berkata: “Yang wajib bagi kita adalah kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara) usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wata’ala tidak memberikan batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita yakin apabila Allah Subhanahu Wata’ala menginginkan pengusapan itu sampai ke siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah Subhanahu Wata’ala tidak menyebutkan dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang pun menambah dari apa yang telah Allah Subhanahu Wata’ala sebutkan, baik itu kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.”

Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali Rahimahullah dalam Fathul Bari (2/56) berkata: “Hadits ini sangat mungkar dan terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.”

Guru kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i Rahimahullah juga mendha’ifkannya.

Al-Imam Az-Zuhri Rahimahullah sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini, seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab Rahimahullah: “Hadits ini telah diingkari oleh Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/57)

Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah dan selainnya mengatakan: “Apabila riwayat tentang tata cara tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka riwayat tersebut terhapus dengan tata cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir Radhiyallahu ‘Anhu (shahabat yang meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal tersebut setelah meninggalnya Nabi n. Dan tentunya perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55, Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)

PERSELISIHAN TENTANG PENGUSAPAN WAJAH

Al-Imam Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak.

Sedangkan pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah berkata: “Thaharah tayammum ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349)

Dan penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah, karena dzahir nash yang datang dari Nabi Subhanahu Wata’ala mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya.

Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.

Catatan Kaki
*Ibnu Hajar Rahimahullah berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed)
*Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268
*Abul Juhaim Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau. Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah itu beliau menjawab salam tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369)
*Yaitu sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kepada ‘Ammar Radhiyallahu ‘Anhu (yang artinya): “Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368)
*Disebutkan dalam riwayat: “Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368)
*Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri, Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3)
*Dengan lafadz: “Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.”
READ MORE - Tayamum
READ MORE - Tayamum

Sunday, February 21, 2010

Wudhu adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim dwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat

Wudhu adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim dwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat. Berwudhu bisa pula menggunakan debu yang disebut dengan tayammum.
Air yang boleh digunakan
Air hujan, Air sumur, Air terjun, laut atau sungai, Air dari lelehan salju atau es batu, Air dari tangki besar atau kolam

Air yang tidak boleh digunakan
Air yang tidak bersih atau ada najis, Air sari buah atau pohon, Air yang telah berubah warna, rasa dan bau dan menjadi pekat karena sesuatu telah direndam didalamnya, Air dengan jumlah sedikit (kurang dari 1000 liter), terkena sesuatu yang tidak bersih seperti urin, darah atau minuman anggur atau ada seekor binatang mati didalamnya, Air bekas Wudhu.
Air bekas wudhu apabila sedikit, maka tidak boleh digunakan, dan termasuk sebagai air musta'mal, sebagaimana hadits: Abdullah bin Umar ra. Mengatakan, "Rasulullah SAW telah bersabda: "Jika air itu telah mencapai dua qullah, tidak mengandung kotoran. Dalam lafadz lain:"tidak najis". (HR Abu Dawud, Tirmidhi, Nasa’i, Ibnu Majah)

Menurut pendapat 4 Mahzab:

1. Ulama Al-Hanafiyah

Menurut mazhab ini bahwa yang menjadi musta’mal adalah air yang membasahi tubuh saja dan bukan air yang tersisa di dalam wadah. Air itu langsung memiliki hukum musta’mal saat dia menetes dari tubuh sebagai sisa wudhu' atau mandi. Air musta’mal adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats (wudhu' untuk shalat atau mandi wajib) atau untuk qurbah. Maksudnya untuk wudhu ' sunnah atau mandi sunnah. Sedangkan air yang di dalam wadah tidak menjadi musta’mal. Bagi mereka, air musta’mal ini hukumnya suci tapi tidak bisa mensucikan. Artinya air itu suci tidak najis, tapi tidak bisa digunakan lagi untuk wudhu` atau mandi.

2. Ulama Al-Malikiyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk mengangkat hadats baik wudhu` atau mandi. Dan tidak dibedakan apakah wudhu` atau mandi itu wajib atau sunnah. Juga yang telah digunakan untuk menghilangkan khabats (barang najis). Dan sebagaimana Al-Hanafiyah, mereka pun mengatakan ‘bahwa yang musta’mal hanyalah air bekas wudhu atau mandi yang menetes dari tubuh seseorang. Namun yang membedakan adalah bahwa air musta’mal dalam pendapat mereka itu suci dan mensucikan. Artinya, bisa dan sah digunakan digunakan lagi untuk berwudhu` atau mandi sunnah selama ada air yang lainnya meski dengan karahah (kurang disukai).

3. Ulama Asy-Syafi`iyyah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air sedikit yang telah digunakan untuk mengangkat hadats dalam fardhu taharah dari hadats. Air itu menjadi musta’mal apabila jumlahnya sedikit yang diciduk dengan niat untuk wudhu` atau mandi meski untuk untuk mencuci tangan yang merupakan bagian dari sunnah wudhu`. Namun bila niatnya hanya untuk menciduknya yang tidak berkaitan dengan wudhu`, maka belum lagi dianggap musta’mal. Termasuk dalam air musta’mal adalah air mandi baik mandinya orang yang masuk Islam atau mandinya mayit atau mandinya orang yang sembuh dari gila. Dan air itu baru dikatakan musta’mal kalau sudah lepas atau menetes dari tubuh. Air musta’mal dalam mazhab ini hukumnya tidak bisa digunakan untuk berwudhu` atau untuk mandi atau untuk mencuci najis. Karena statusnya suci tapi tidak mensucikan.

4. Ulama Al-Hanabilah

Air musta’mal dalam pengertian mereka adalah air yang telah digunakan untuk bersuci dari hadats kecil (wudhu`) atau hadats besar (mandi) atau untuk menghilangkan najis pada pencucian yang terakhir dari 7 kali pencucian. Dan untuk itu air tidak mengalami perubahan baik warna, rasa maupun aromanya. Selain itu air bekas memandikan jenazah pun termasuk air musta’mal. Namun bila air itu digunakan untuk mencuci atau membasuh sesautu yang di luar kerangka ibadah, maka tidak dikatakan air musta’mal. Seperti menuci muka yang bukan dalam rangkaian ibadah ritual wudhu`. Atau mencuci tangan yang juga tidak ada kaitan dengan ritual ibadah wudhu`.
Air yang tersisa setelah binatang haram meminumnya seperti anjing, babi atau binatang mangsa
Air yang tersisa oleh seseorang yang telah mabuk karena anggur

Syarat

Ada 5 (lima) syarat untuk berwudhu;
Islam
Sudah Baliqh
Tidak berhadas besar
Memakai air yang mutlak (suci dan dapat dipakai mensucikan)
Tidak ada yang menghalangi sampainya kekulit

Rukun

Rukun berwudhu ada 6 (enam);
Berniat untuk wudhu, dan melafadzkan
"Nawaitul wudluua liraf'il hadatsil ashghari fardlallillaahi ta'aalaa.", artinya : "Aku niat berwudlu' untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah"
Membasuh muka (dengan merata)
Membasuh tangan hingga sampai dengan kedua siku (dengan merata)
Mengusap sebagian kepala
Membasuh kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (dengan merata)
Tertib (berurutan)

Ada beberapa perkara atau hal yang dapat membatalkan sah nya wudhu, diantaranya adalah:
Keluar sesuatu dari dua pintu (kubul dan dubur) atau salah satu dari keduanya baik berupa kotoran, air kencing , angin, air mani atau yang lainnya.
Hilangnya akal, baik gila, pingsan ataupun mabuk.
Bersentuhan kulit laki-laki dengan kulit perempuan yang bukan muhrim.
Menyentuh kemaluan atau pintu dubur dengan bathin telapak tangan, baik milik sendiri maupun milik orang lain. Baik dewasa maupun anak-anak.
Tidur, kecuali apabila tidurnya dengan duduk dan masih dalam keadaan semula (tidak berubah kedudukannya).

Dalam mencapai kesempurnaan wudhu, Rasulullah SAW telah memberikan contoh yang selayaknya kita ikuti, sebagaimana kutipan hadits berikut:
Selesai salat Subuh, Rasulullah SAW bertanya kepada Bilal: "Wahai Bilal! Ceritakan kepadaku tentang perbuatan yang paling bermanfaat yang telah kamu lakukan setelah memeluk Islam. Karena semalam aku mendengar suara langkah sandalmu di depanku dalam surga". Bilal berkata: "Aku tidak pernah melakukan suatu amalan yang paling bermanfaat setelah memeluk Islam selain aku selalu berwudu dengan sempurna pada setiap waktu malam dan siang kemudian melakukan salat sunat dengan wudhuku itu sebanyak yang Allah kehendaki". (H.R. Abu Hurairah ra).

Berikut ini adalah cara menyempurnakan wudhu, yang mana termasuk hal-hal yang disunnahkan:
Mendahulukan bagian tubuh yang sebelah kanan
Mengulagi masing-masing anggota wudhu sebanyak 3 (tiga) kali
Tidak berbicara
Menghadap kiblat
Membaca basmalah (dalam hati atau melafadzkannya)
Berniat untuk wudhu, dan melafadzkan:
"Nawaitul wudluua liraf'il hadatsil ashghari fardlallillaahi ta'aalaa" artinya : "Aku niat berwudlu' untuk menghilangkan hadats kecil fardu karena Allah."
Membasuh telapak tangan sampai pergelangan
Menggosok gigi (bersiwak)
Berkumur
Membersihkan hidung (memasukkan air kehidung kemudian dibuang kembali)
Membasuh muka (dengan merata)
Membasuh tangan hingga sampai dengan kedua siku (dengan merata)
Mengusap sebagian kepala
Mengusap kedua telinga bagian luar dan dalam
Membasuh kaki hingga sampai dengan kedua mata kaki (dengan merata)
Membaca doa sesudah berwudhu.
"Asyhadu an laa ilaaha illalaahu wa asyhadu anna Muhammadan 'abduhu wa Rasuuluh, Allahummaj'alnii minat tawwaa biinaa waj'alnii minal mutathahhiriin.", artinya: "Aku bersaksi bahwa Tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad itu adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ya allah, masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang bertaubat, dan masukkanlah ke dalam golongan orang-orang yang suci."
Kemudian dilanjutkan dengan sholat sunnat wudhu sebanyak 2 (dua) raka'at.
Bahwa Ia (Usman ra.) minta air lalu berwudu. Ia membasuh kedua telapak tangannya tiga kali lalu berkumur dan mengeluarkan air dari hidung. Kemudian membasuh wajahnya tiga kali, lantas membasuh tangan kanannya sampai siku tiga kali, tangan kirinya juga begitu. Setelah itu mengusap kepalanya, kemudian membasuh kaki kanannya sampai mata kaki tiga kali, begitu juga kaki kirinya. Kemudian berkata: "Aku pernah melihat Rasulullah saw. berwudu seperti wuduku ini, lalu beliau bersabda: Barang siapa yang berwudu seperti cara wuduku ini, lalu salat dua rakaat, di mana dalam dua rakaat itu ia tidak berbicara dengan hatinya sendiri, maka dosanya yang telah lalu akan diampuni." (H.R. Usman bin Affan ra).
Tertib (berurutan)

Wudhu merupakan suatu hal yang tiada asing bagi setiap muslim, sejak kecil ia telah mengetahuinya bahkan telah mengamalkannya. Akan tetapi apakah wudhu yang telah kita lakukan selama bertahun-tahun atau bahkan telah puluhan tahun itu telah benar sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam? Karena suatu hal yang telah menjadi konsekwensi dari dua kalimat syahadat bahwa ibadah harus ikhlas mengharapkan ridho Allah dan sesuai sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam. Demikian juga telah masyhur bagi kita bahwa wudhu merupakan syarat sah sholat, yang mana jika syarat tidak terpenuhi maka tidak akan teranggap/terlaksana apa yang kita inginkan dari syarat tersebut. Sebagaimana sabda Nabi yang mulia, Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأ "Tidak diterima sholat orang yang berhadats sampai ia berwudhu"

Demikian juga dalam juga Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan kepada kita dalam KitabNya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki”. (QS Al Maidah [5] : 6).

Maka marilah duduk bersama kami barang sejenak untuk mempelajari shifat/tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.

Pengertian wudhu

Secara bahasa wudhu berarti husnu/keindahan dan nadhofah/kebersihan, wudhu untuk sholat dikatakan sebagai wudhu karena ia membersihkan anggota wudhu dan memperindahnya. Sedangkan pengertian menurut istilah dalam syari’at, wudhu adalah peribadatan kepada Allah ‘azza wa jalla dengan mencuci empat anggota wudhu dengan tata cara tertentu. Jika pengertian ini telah dipahami maka kita akan mulai pembahasan tentang syarat, hal-hal wajib dan sunnah dalam wudhu secara ringkas.

Tata Cara Wudhu secara Global

Adapun tata cara wudhu secara ringkas berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari Humroon budak sahabat Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu[5],

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ، ثُمَّ أَدْخَلَ يَمِينَهُ فِى الْوَضُوءِ ، ثُمَّ تَمَضْمَضَ ، وَاسْتَنْشَقَ ، وَاسْتَنْثَرَ ، ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ ، ثُمَّ غَسَلَ كُلَّ رِجْلٍ ثَلاَثًا ، ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا وَقَالَ « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Dari Humroon -bekas budak Utsman bin Affan-, suatu ketika ‘Utsman memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian ia tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangannya. Maka ia membasuh kedua tangannya sebanyak tiga kali, lalu ia memasukkan tangan kanannya ke dalam air wudhu kemudian berkumur-kumur, lalu beristinsyaq dan beristintsar. Lalu beliau membasuh wajahnya sebanyak tiga kali, (kemudian) membasuh kedua tangannya sampai siku sebanyak tiga kali kemudian menyapu kepalanya (sekali sajapent.) kemudian membasuh kedua kakinya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengatakan, "Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu yang semisal ini dan beliau shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, "Barangsiapa yang berwudhu dengan wudhu semisal ini kemudian sholat 2 roka’at (dengan khusyuked.)dan ia tidak berbicara di antara wudhu dan sholatnya maka Allah akan ampuni dosa-dosanya yang telah lalu"

Dari hadits yang mulia ini dan beberapa hadits yang lain dapat kita simpulkan tata cara wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam secara ringkas sebagai berikut,
Berniat wudhu (dalam hati) untuk menghilangkan hadats.
Mengucapkan basmalah (bacaan bismillah).
Membasuh dua telapak tangan sebanyak 3 kali.
Mengambil air dengan tangan kanan kemudian memasukkannya ke dalam mulut dan hidung untuk berkumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung). Kemudian beristintsar (mengeluarkan air dari hidung) dengan tangan kiri sebanyak 3 kali.
Membasuh seluruh wajah dan menyela-nyelai jenggot sebanyak 3 kali.
Membasuh tangan kanan hingga siku bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan yang kiri.
Menyapu seluruh kepala dengan cara mengusap dari depan ditarik ke belakang, lalu ditarik lagi ke depan, dilakukan sebanyak 1 kali, dilanjutkan menyapu bagian luar dan dalam telinga sebanyak 1 kali.
Membasuh kaki kanan hingga mata kaki bersamaan dengan menyela-nyelai jemari sebanyak 3 kali kemudian dilanjutkan dengan kaki kiri.

Syarat-Syarat Wudhu

Syaikh Dr. Sholeh bin Fauzan bin Abdullah Al Fauzan hafidzahullah menyebutkan syarat wudhu ada tujuh, yaitu
Islam,
Berakal,
Tamyiz,
Berniat, (letak niat ini ketika hendak akan melakukan ibadah tersebut,pent.)
Air yang digunakan adalah air yang bersih dan bukan air yang diperoleh dengan cara yang haram,
Telah beristinja’ & istijmar lebih dulu (jika sebelumnya memiliki keharusan untuk istinja’ dan istijmar dari hadats),
Tidak adanya sesuatu hal yang mencegah air sampai ke kulit.

Kami tidak menyebutkan dalil tentang hal di atas karena kami menganggap hal ini telah ma’ruf dikalangan kaum muslimin.

Wajib Wudhu
Membaca bismillah ketika hendak wudhu, sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi was sallam,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ وَلاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ تَعَالَى عَلَيْهِ

"Tidak ada sholat bagi orang yang tidak berwudhu, dan tidak ada wudhu bagi orang yang tidak menyebut nama Allah Ta’ala (bismillah) ketika hendak berwudhu".
Membasuh wajah, termasuk dalam membasuh wajah adalah berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar. Para ‘ulama mengatakan batasan bagian wajah yang dibasuh adalah mulai dari atas ujung dahi (awal tempat tumbuhnya rambut) sampai bagian bawah jenggot dan batas kiri kanan adalah telinga.

Adapun yang dimaksud dengan istinsyaq adalah sebagaimana yang dikatakan Al Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy rohimahullah, "Memasukkan air ke hidung dengan menghisapnya sampai ke ujungnya, sedangkan istintsar adalah kebalikannya". Dalil tentang hal ini sebagaimana yang firman Allah ‘azza wa jalla,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah wajah". (QS Al Maidah [5] : 6).

Sebagaimana dalam ilmu ushul fiqh perintah dalam perkara ibadah memberikan konsekwensi wajib. Maka membasuh wajah dalam wudhu adalah wajib. Sedangkan dalil yang menunjukkan wajibnya berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar adalah ayat di atas yang memerintahkan kita untuk membasuh wajah, sedangkan mulut dan hidung merupakan bagian dari wajah. Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لْيَنْتَثِرْ

"Jika salah seorang dari kalian hendak berwudhu maka beristinsyaqlah di hidungnya dengan air kemudian beristintsarlah".

Dalil khusus dalam masalah kumur-kumur adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

"Jika engkau hendak wudhu, maka berkumur-kumurlah".

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rohimahullah mengatakan, "Cara berkumur-kumur, istinsyaq dan istintsar dilakukan bersamaan (satu kali jalan), maka setengah air digunakan untuk berkumur-kumur dan sisanya untuk istinsyaq dan istintsar".
Menyela-nyelai jenggot, dalil tentang hal ini adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu,

كَانَ إِذَا تَوَضَّأَ أَخَذَ كَفًّا مِنْ مَاءٍ فَأَدْخَلَهُ تَحْتَ حَنَكِهِ فَخَلَّلَ بِهِ لِحْيَتَهُ

وَقَالَ « هَكَذَا أَمَرَنِى رَبِّى عَزَّ وَجَلَّ »

"Merupakan kebiasaan (Nabi shallallahu ‘alaihi was sallampent). jika beliau akan berwudhu, beliau mengambil segenggaman air kemudian beliau basuhkan (ke wajahnyapent) sampai ketenggorokannya kemudian beliau menyela-nyelai jenggotnya". Kemudian beliau mengatakan, "Demikianlah cara berwudhu yang diperintahkan Robbku kepadaku".

Dan cara menyela-nyelai jenggot adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu dengan menyela-nyelainya bersamaan dengan membasuh wajah.
Membasuh kedua tangan sampai siku, dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku". (QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا ، ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى إِلَى الْمَرْفِقِ ثَلاَثًا

"Kemudian beliau membasuh tangannya yang kanan sampai siku sebanyak tiga kali, kemudian membasuh tangannya yang kiri sampai siku sebanyak tiga kali".
Menyapu kepala dengan air, kedua telinga termasuk dalam bagian kepala. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

"Dan sapulah kepalamu". (QS Al Maidah [5] : 6).

Perintah dalam ayat ini menunjukkan hukum menyapu kepala adalah wajib bahkan hal ini diklaim ijma’ oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah. Demikian juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ بِيَدَيْهِ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ ، بَدَأَ بِمُقَدَّمِ رَأْسِهِ ، حَتَّى ذَهَبَ بِهِمَا إِلَى قَفَاهُ ، ثُمَّ رَدَّهُمَا إِلَى الْمَكَانِ الَّذِى بَدَأَ مِنْهُ

"Kemudian beliau membasuh mengusap kepala dengan tangannya,(dengan carapent.) menyapunya ke depan dan ke belakang. Beliau memulainya dari bagian depan kepalanya ditarik ke belakang sampai ke tengkuk kemudian mengembalikannya lagi ke bagian depan kepalanya".

Hadits ini menunjukkan bagaimana cara mengusap kepala yang Allah perintahkan dalam surat Al Maidah ayat 6 di atas. Demikian juga hadits ini juga dalil bahwa yang bagian kepala yang dihusap dalam ayat di atas adalah seluruh kepala/rambut dan inilah pendapat Al Imam Malik rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Al Imam Al Bukhori rohimahullah sebagaimana dalam kitab shahihnya. Jadi mengusap kepala bukanlah hanya sebagian (hanya ubun-ubun) sebagaimana anggapan sebagian orang. Sedangkan dalil bahwa menyapu kedua telinga termasuk dalam menyapu kepala adalah sabda Nabi ’alaihish sholatu was salam,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

"Kedua telinga merupakan bagian dari kepala".

Lalu cara menyapu kedua telinga adalah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ بَاطِنِهِمَا بِالسَّبَّاحَتَيْنِ وَظَاهِرِهِمَا بِإِبْهَامَيْهِ

"kemudian beliau menyapu kedua telinga sisi dalamnya dengan dua telunjuknya dan sisi luarnya dengan kedua jempolnya".

Adapun untuk cara mengusap kepala dan kedua telinga dengan air, untuk perempuan sama seperti untuk laki-laki sebagaimana yang dikatakan oleh An Nawawi Asy Syafi’i rohimahullah demikian juga hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i rohimahullah sendiri dan dinukil oleh Al Bukhori rohimahullah dalam kitab shohihnya dari Sa’id bin Musayyib rohimahullah.
Membasuh kedua kaki hingga mata kaki. Dalil hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

"(basuh) kaki-kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki".

(QS Al Maidah [5] : 6).

Demikian juga hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

"Kemudian beliau membasuh kedua kakinya hingga dua mata kaki".

Membasuh kedua mata kaki hukumnya wajib karena Allah sebutkan dengan lafadz/bentuk perintah, dan hukum asal perintah dalam masalah ibadah adalah wajib. Adapun cara membasuhnya adalah sebagaimana yang disabdakan beliau alaihish sholatu was salam,

إِذَا تَوَضَّأَ دَلَكَ أَصَابِعَ رِجْلَيْهِ بِخِنْصَرِهِ

"Jika beliau shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu, beliau menggosok jari-jari kedua kakinya dengan dengan jari kelingkingnya".

Demikian juga pendapat Al Ghozali rohimahullah, namun beliau qiyaskan dengan cara istinja’, sebagaimana yang dinukilkan oleh Al ‘Amir Ash Shon’ani rohimahullah.
Muwalah

Muwalah adalah berturut-turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu dalam artian membasuh anggota wudhu lainnya sebelum anggota wudhu (yang sebelumnya telah dibasuh pent) mengering dalam kondisi/waktu normal.

Dalil wajibnya hal ini adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku". (QS Al Maidah [5] : 6).

Sisi pendalilannya sebagai berikut, jawab syarat (dari kalimat syarat yang ada dalam ayat inipent.) merupakan suatu yang berurutan dan tidak boleh diakhirkan. Adapun dalil dari Sunnah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan tidak memisahkan membasuh anggota wudhu (yang satu dengan yang lainnyapent.) dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang diriwayatkan dari sahabat Umar bin Khottob rodhiyallahu ‘anhu

أَنَّ رَجُلاً تَوَضَّأَ فَتَرَكَ مَوْضِعَ ظُفُرٍ عَلَى قَدَمِهِ فَأَبْصَرَهُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ « ارْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ ». فَرَجَعَ ثُمَّ صَلَّى

"Bahwasanya ada seorang laki-laki berwudhu dan meninggalkan bagian yang belum dibasuh sebesar kuku pada kakinya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melihatnya maka Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam mengatakan, “Kembalilah (berwudhupent.) perbaguslah wudhumu".

Hal ini merupakan pendapat Imam Syafi’i dalam perkataannya yang lama, serta pendapat Al Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur dar beliau.

Sunnah Wudhu
Bersiwak[44], hal sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ

"Seandainya jika tidak memberatkan ummatku, niscaya aku perintahkan mereka untuk bersiwak pada setiap hendak berwudhu".
Mencuci kedua tangan tiga kali ketika hendak berwudhu, sunnah ini lebih ditekankan ketika bangun dari tidur atau dengan kata lain hukumnya wajib. Dalil yang menunjukkan bahwa mencuci tangan ketika hendak berwudhu sunnah adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ….. ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَتَوَضَّأُ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke kedua tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak tiga kali……kemudian beliau berkata, "Aku dahulu melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti yang aku peragakan ini".

Hal ini ditetapkan sebagai sunnah dan bukan wajib sebab Utsman rodhiyallahu ‘anhu melakukannya karena melihat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam melakukannya. Semata-mata perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam yang dicontoh para sahabat menunjukkan hukum anjuran atau sunnah[47]. Kemudian dalil yang menunjukkan wajibnya mencuci tangan ketika bangun dari tidur adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

وَإِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ نَوْمِهِ فَلْيَغْسِلْ يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يُدْخِلَهَا فِى وَضُوئِهِ ، فَإِنَّ أَحَدَكُمْ لاَ يَدْرِى أَيْنَ بَاتَتْ يَدُهُ

"Jika salah seorang dari kalian bangun dari tidurnya maka hendaklah ia mencuci tangannya sebelum ia memasukkan tangannya ke air wudhu, karena ia tidak tahu di mana tangannya bermalam".

Jika ada yang bertanya apakah hal ini hanya berlaku pada tidur di malam hari saja atau umum? Maka jawabannya adalah sebagaimana yang disampaikan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam di atas yaitu semua tidur yang menyebabkan orang tidak tahu di mana tangannya berada ketika ia tidur. Dan inilah pendapat yang dipilih oleh Al Imam Asy Syafi’i rohimahullah, demikian juga mayoritas ‘ulama.
Bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq dan berkumur-kumur ketika tidak sedang berpuasa. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

بَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمًا

"Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali jika kalian sedang berpuasa".
Mendahulukan membasuh anggota wudhu yang kanan. Dalilnya adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لَيُحِبُّ التَّيَمُّنَ فِى طُهُورِهِ إِذَا تَطَهَّرَ

"Adalah kebiasaan Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam sangat menyukai mendahulukan kanan dalam thoharoh (berwudhupent.)".
Membasuh anggota wudhu sebanyak 2 kali atau 3 kali. Dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membasuh anggota wudhunya 2 kali adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Zaid,

أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – تَوَضَّأَ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ

"Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu (membasuh anggota wudhunya sebanyakpent.) dua kali-dua kali.

Dalil bahwa beliau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali adalah hadits yang diriwayatkan Humroon dari tentang wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

عَنْ حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ رَأَى عُثْمَانَ دَعَا بِوَضُوءٍ ، فَأَفْرَغَ عَلَى يَدَيْهِ مِنْ إِنَائِهِ ، فَغَسَلَهُمَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ…. ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا…

Dari Humroon budaknya Utsman bin Affan, (ketika ia menjadi budaknya Utsmanpent.) suatu ketika beliau memintanya untuk membawakan air wudhu (dengan wadahpent.), kemudian aku tuangkan air dari wadah tersebut ke tangan beliau. Maka ia membasuh tangannya sebanyak 3 kali…kemudian dia membasuh wajahnya sebanyak 3 kali…

Hal ini sering beliau lakukan pada anggota wudhu selain pada mengusap kepala, berdasarkan salah satu riwayat hadits Abdullah bin Zaid rodhiyallahu ‘anhu di atas yang juga dalam shohihain,

ثُمَّ أَدْخَلَ يَدَهُ فَمَسَحَ رَأْسَهُ ، فَأَقْبَلَ بِهِمَا وَأَدْبَرَ مَرَّةً وَاحِدَةً

"Kemudian beliau memasukkan tangannya ke dalam wadah air lalu menyapu kepalanya ke arah depan dan belakang sebanyak 1 kali".

Namun demikian dianjurkan juga menyapu kepala sebanyak tiga kali, namun hal ini dianjurkan dengan catatan tidak dilakukan terus menerus berdasarkan salah satu riwayat hadits yang diriwayatkan Humroon tentang cara wudhu Utsman bin Affan rodhiyallahu ‘anhu ketika beliau melihat cara wudhu Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ هَكَذَا

Beliau (Utsman bin Affan pent.)menyapu kepalanya tiga kali kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian beliau berkata, "Aku melihat Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam berwudhu dengan wudhu seperti ini".
Tertib, yang dimaksud tertib di sini adalah membasuh anggota wudhu sesuai tempatnya (urutan yang ada dalam ayat wudhupent). Hal ini kami cantumkan di sini sebagai sebuah sunnah bukan wajib dalam wudhu dengan alasan hadits Al Miqdam bin Ma’dikarib Al Kindiy rodhiyallahu ‘anhu,

أُتِىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثًا ثُمَّ تَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ ثَلاَثًا وَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا ثُمَّ غَسَلَ ذِرَاعَيْهِ ثَلاَثًا ثَلاَثًا ثُمَّ مَسَحَ بِرَأْسِهِ وَأُذُنَيْهِ ظَاهِرِهِمَا وَبَاطِنِهِمَا

"Rosulullah shallallahu ‘alaihi was sallam melakukan wudhu dengan membasuh tangannya tiga kali kemudian berkumur-kumur dan istinsyaq tiga kali, kemudian membasuh wajahnya tiga kali, kemudian membasuh kakinya tiga kali, kemudian menyapu kepalanya dan telinga bagian luar maupun dalam".
Berdo’a ketika telah selesai berwudhu. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ يَتَوَضَّأُ فَيُبْلِغُ – أَوْ فَيُسْبِغُ – الْوُضُوءَ ثُمَّ يَقُولُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ إِلاَّ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةُ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ .

"Tidaklah salah seorang dari kalian berwudhu dan ia menyempurnakan wudhunya kemudian membaca, “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah” melainkan akan dibukakan baginya pintu-pintu surga yang jumlahnya delapan, dan dia bisa masuk dari pintu mana saja ia mau".

At Tirmidzi menambahkan lafafdz,

اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ

"Ya Allah jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah aku termsuk orang-orang yang selalu mensucikan diri".
Sholat dua raka’at setelah wudhu. Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ ، غَفَرَ اللَّهُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, kemudian sholat 2 raka’at (dengan khusyuked.) setelahnya dan ia tidak berbicara di antara keduanya[61], maka akan diampuni seluruh dosanya yang telah lalu".

Demikianlah akhir tulisan ini, mudah-mudahan bermanfaat bagi kami sebagai tambahan ‘amal dan sebagai tambahan ilmu bagi pembaca sekalian serta berbuah ‘amal bagi kita semua. Allahu a’lam bish showab

Ketika rintik-rintik hujan membasahi ranah pogung, 1 Dzul Hijjah 1430 H

Penulis: Aditya Budiman

Muroja’ah: M. A. Tuasikal

Apabila seorang muslim mau berwudhu maka hendaknya ia berniat di dalam hatinya kemudian membaca "Bismillahirrahmanirrahim" sebab Rasulullah SAW bersabda "Tidak sah wudhu orang yg tidak menyebut nama Allah". Dan apabila ia lupa maka tidaklah mengapa. Jika hanya mengucapkan "Bismillah" saja maka dianggap cukup.
Kemudian disunnahkan mencuci kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali sebelum memulai wudhu.
Kemudian berkumur-kumur .
Lalu menghirup air dgn hidung lalu mengeluarkannya.
Disunnahkan ketika menghirup air di lakukan dgn kuat kecuali jika dalam keadaan berpuasa maka ia tidak mengeraskannya krn dikhawatirkan air masuk ke dalam tenggorokan. Rasulullah bersabda "Keraskanlah di dalam menghirup air dgn hidung kecuali jika kamu sedang berpuasa".
Lalu mencuci muka. Batas muka adl dari batas tumbuhnya rambut kepala bagian atas sampai dagu dan mulai dari batas telinga kanan hingga telinga kiri. Dan jika rambut yg ada pada muka tipis maka wajib dicuci hingga pada kulit dasarnya. Tetapi jika tebal maka wajib mencuci bagian atasnya saja namun disunnahkan mencelah-celahi rambut yg tebal tersebut. Karena Rasulullah selalu mencelah-celahi jenggotnya di saat berwudhu.
Kemudian mencuci kedua tangan sampai siku krn Allah berfirman "dan kedua tanganmu hingga siku".
Kemudian mengusap kepala beserta kedua telinga satu kali dimulai dari bagian depan kepala lalu diusapkan ke belakang kepala lalu mengembalikannya ke depan kepala. Setelah itu langsung mengusap kedua telinga dgn air yg tersisa pada tangannya.
Lalu mencuci kedua kaki sampai kedua mata kaki krn Allah berfirman "dan kedua kakimu hingga dua mata kaki". Yang dimaksud mata kaki adl benjolan yg ada di sebelah bawah betis. Kedua mata kaki tersebut wajib dicuci berbarengan dgn kaki. Orang yg tangan atau kakinya terpotong maka ia mencuci bagian yg tersisa yg wajib dicuci. Dan apabila tangan atau kakinya itu terpotong semua maka cukup mencuci bagian ujungnya saja.
Setelah selesai berwudhu mengucapkan
Ketika berwudhu wajib mencuci anggota-anggota wudhunya secara berurutan tidak menunda pencucian salah satunya hingga yg sebelumnya kering. Hal ini berdasar hadits yg diriwayatkan Ibn Umar Zaid bin Sabit dan Abu Hurairah bahwa Nabi senantiasa berwudu secara berurutan kemudian beliau bersabda "Inilah cara berwudu di mana Allah tidak akan menerima shalat seseorang kecuali dgn wudu seperti ini".
Boleh mengelap anggota-anggota wudhu seusai berwudhu.

Sunnah Wudhu
Disunnatkan bagi tiap muslim menggosok gigi sebelum memulai wudhunya krn Rasulullah bersabda "Sekiranya aku tidak memberatkan umatku niscaya aku perintah mere-ka bersiwak tiap kali akan berwudhu". (Riwayat Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’).
Disunnatkan pula mencuci kedua telapak tangan tiga kali sebelum berwudhu sebagaimana disebutkan di atas kecuali jika setelah bangun tidur maka hukumnya wajib mencucinya tiga kali sebelum berwudhu. Sebab boleh jadi kedua tangannya telah menyentuh kotoran di waktu tidurnya sedangkan ia tidak merasakannya. Rasulullah bersabda "Apabila seorang di antara kamu bangun tidur maka hendaknya tidak mencelupkan kedua tangannya di dalam bejana air sebelum mencucinya terlebih dahulu tiga kali krn sesungguhnya ia tidak mengetahui di mana tangannya berada".
Disunnatkan keras di dalam meng-hirup air dgn hidung sebagaimana dijelaskan di atas.
Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jenggot jika tebal ketika membasuh muka .
Disunnatkan bagi orang muslim mencelah-celahi jari-jari tangan dan kaki di saat mencucinya krn Rasulullah bersabda "Celah-celahilah jari-jemari kamu".
Mencuci anggota wudhu yg kanan terlebih dahulu sebelum mencuci anggota wudhu yg kiri. Mencuci tangan kanan terlebih dahulu kemudian tangan kiri dan begitu pula mencuci kaki kanan sebelum mencuci kaki kiri.
Mencuci anggota-anggota wudhu dua atau tiga kali namun kepala cukup diusap satu kali usapan saja.
Tidak berlebih-lebihan dalam pemakaian air krn Rasulullah berwudhu dgn mencuci tiga kali lalu bersabda "Barangsiapa mencuci lbh maka ia telah berbuat kesalahan dan kezhaliman". Hal-hal Yang Membatalkan Wudhu Wudhu seorang muslim batal krn hal-hal berikut ini
Keluarnya sesuatu dari qubul atau dubur baik berupa air kecil atau- pun air besar.
Keluar angin dari dubur .
Hilang akalnya baik krn gila pingsan mabuk atau krn tidur yg nyenyak hingga tidak menya-dari apa yg keluar darinya. Adapun tidur ringan yg tidak menghilangkan perasaan maka tidak membatalkan wudhu.
Menyentuh kemaluan dgn tangan dgn syahwat apakah yg disentuh tersebut kemaluannya sendiri atau milik orang lain krn Rasulullah bersabda "Barangsiapa yg menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu".
Memakan daging unta krn ketika Rasulullah ditanya "Apakah kami harus berwudhu krn makan daging unta? Nabi menjawab Ya". Begitu pula memakan usus hati babat atau sumsumnya adl membatalkan wudhu krn hal tersebut sama dgn dagingnya. Adapun air susu unta tidak membatalkan wudhu krn Rasulullah SAW pernah menyuruh suatu kaum minum air susu unta dan tidak menyuruh mereka berwudlu sesudahnya . Untuk lbh berhati-hati maka sebaiknya berwudhu sesudah minum atau makan kuah daging unta.

Hal-hal yg haram dilakukan oleh yg tidak berwudhu Apabila seorang muslim berhadats kecil maka haram melakukan hal-hal berikut ini
Menyentuh mushaf Al-Qur’an krn Rasulullah mengatakan di dalam suratnya yg beliau kirimkan kepada penduduk negeri Yaman "Tidak boleh menyentuh Al-Qur’an selain orang yg suci".
Adapun membaca Al-Qur’an dgn tidak menyentuhnya maka hal itu boleh dilakukan oleh orang yg berhadats kecil. Mengerjakan shalat. Orang yg berhadats tidak boleh melakukan shalat kecuali setelah berwudhu terlebih dahulu krn Rasulullah bersabda "Allah tidak menerima shalat yg dilakukan tanpa wudhu".
Boleh bagi orang yg tidak berwudhu melakukan sujud tilawah atau sujud syukur krn keduanya bukan merupakan shalat sekalipun lbh afdhalnya adl berwudhu sebelum melakukan sujud.
Melakukan thawaf. Orang yg berhadats kecil tidak boleh melakukan thawaf di Ka`bah sebelum berwudhu krn Rasulullah telah bersabda "Thawaf di Baitullah itu adl shalat". .Dan juga krn Nabi berwudhu terlebih dahulu sebelaum melakukan thawaf . Catatan Penting Untuk berwudhu tidak disyaratkan mencuci qubul atau dubur terlebih dahulu krn pencucian keduanya dilakukan sehabis buaang air dan hal tersebut tidak ada hubungannya dgn wudhu. Wallahu a’lam wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wa sallam. Referensi 1. Al-Qur’an Al-Karim dan Al-Hadits Kutubus-Sittah.2. Diadaptasi dari "Tuntunan Shalat Menurut Al-Qur’an & As-Sunnah" Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin.3. Al-Adzkaarun Nawawiyyah Muhyiddin Abi Zakaria bin Syaraf An-Nawawi.4. Fiqhus-Sunnah Sayyid Sabiq.5. Shalat Empat Mazhab Abdul Qadir Ar-Rahbawi.

"Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian jika ia hadats sampai berwudhu".
Bagi yang wudhul diperbolehkan meminta bantuan orang lain, sebagaimana diriwayatkan, sesungguhnya Al-Mughirah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudhu pada suatu malam di tabuk. Dan sesungguhnya Usamah pernah menuangkan air kepada Nabi saw. ketika beliau mengambil wudlu di pagi hari pada waktu haji wada’ sesudah beliau beranjak dari Arafah, (tepatnya) di antara Arafah dan Muzdalifah. Kemudian diriwayatkan pula dari Hudzaifah bin Abu Hudzifah dari Shafwan bin ‘Assal r.a., ia berkata:

"Aku pernah menuangkan air kepada Nabi saw. saat beliau sedang berada di tempat atau saat beliau sedang dalam perjalanan, ketika beliau hendak mengambil wudlu, lalu beliau memulainya dengan niat seraya berkata: Aku niat menghilangkan hadats wudlu".

Niat adalah fardlu. Kemudian daripada itu disunnahkan menyebut nama Allah Ta’ala (membaca basmalah) karena wudlu, sebagaimana dikemukan dalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda:

"Barang siapa wudlu dan ia menyebut nama Allah Ta’ala, maka hal itu menyebabkan suci bagi seluruh badannya. Oleh karena itu, bila ia lupa menyebutnya pada mula pertama wudlu dan baru ingat saat tengah wudlu, hendaklah ia menyebutnya sehingga wudlu tersebut tidak kosong dari (menyebut) nama Allah ‘Azza wa Jalla".

Sesudah niat dan menyebut nama Allah Ta’ala, mencuci kedua telapak tangan tiga kali. Sebab Utsman dan Ali r.a., keduanya telah menggambarkan wudlu Rasulullah saw.:

"Kemudian keduanya mencuci tangan tiga kali".

Selanjutnya yang bersangkutan menggerak-gerakkan cincinnya jika keadaannya sempit agar air benar-benar sampai menembus kulit yang ada di balik cincin. Sesudah itu dia berkumur tiga kali dan menghirup air (istinsyaq) tiga kali dengan mendahulukan berkumur dari instinsyaq. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan oleh "Amr bin "Abasah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabda:

"Tidak seorang pun di antara kalian yang mendekatkan wudlunya, kemudian berkumur, kemudian beristinsyaq dan (sesudah itu) mengeluarkannya (agar kotoran yang ada dalam hidung terbawa keluar), melainkan mengalirlah dosa-dosa yang ada dalam hidung dan ujungnya bersama air".

Disunatkan dalam beristinsyaq ini, pertama-tama yang bersangkutan mengambil air dan menghirupnya dengan bagian kanan dan mengeluarkannya dengan bagian kiri, berdasarkan hadits Ali r.a. bahwasanya dia berdoa dengan doa wudlu, lalu berkumur, beristinsyaq, dan mengelurkannya dengan tangan kiri. Kemudian dia berkata: Demikianlah Nabi saw. bersuci (wudlu). Disunatkan melakukan berkumur dan istinsyaq dengan sangat, sebagaiman yang disampaikan oleh nabi saw. kepada Al-Laqith bin Shabrah:

"Sempurnakanlah wudlu, jarangkanlah jari-jemari, dan sangatkanlah dalam beristinsyaq, kecuali engkau sedang berpuasa".

Bagi yang berwudlu boleh mengambil jarak antara berkumur dengan beristinsyaq dan boleh pula menyambungnya. Alasan bagi yang menyatakan boleh bersambung antara berkumur dengan beristinsyaq, antara lain berdasarkan hadits Ibnu Abbas, bahwasanya dia mengambil air lalu berkumur dengannya dan beristinsyaq. Hadits lainnya adalah seperti hadits Abdullah bin Zaid:

"Atau dia berkumur dan beristinsyaq dari tangan sebelah. Dia melakukan hal itu tiga kali".

Sedang alasan yang menyatakan boleh mengambil jarak antara keduanya, antara lain berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Thalhah bin Mashraf dari ayahnya dari kakeknya, ia berkata:

"Aku melihat Rasulullah saw., beliau mengambil jarak antara berkumur dengan istinsyaq".

Begitu juga disunahkan bagi yang berwudlu bersifak (menggosok gigi) dengan ranting kayu arak atau yang lainnya, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abu Hurairah r.a. sesungguhnya Nabi saw. telah bersabda:

"Seandainya tidak akan memberatkan atas umatku, niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali hendak shalat".

Dalam riwayat lain dikemukakan:
"Setiap kali hendak wudlu".
Jika bersiwak membuat seseorang kesakitan atau tidak sekalipun, baginya tetap disunatkan menggosok gigi dengan jarinya, berdasarkan hadits Aisyah r.a. Dia pernah bertanya:

"Ya Rasullallah, bila seseorang tidak bermulut, apakah ia bersiwak? Beliau menjawab: Ya! Lalu aku pun bertanya lagi: Bagaimana ia berbuat? Belaiu pun menjawab: Masukkanlah jarinya ke dalam mulutnya".

Kemudian sesudah itu ia mencuci mukanya sebagai fardlu, berdasarkan firman Allah Ta’ala:“…, maka cucilah muka kalian” (QS. 5:6)

Batasan muka adalah: Dari atas sampai bawah, yaitu mulai dari tempat tumbuh rambut kepala sampai dagu dan ujung jenggot. Sedang lebarnya, mulai telinga sebelah kanan sampai telinga sebelah kiri. Pengertian tempat tumbuh rambut kepal, yaitu tempat tumbuh rambut kepala yang berambut normal. Bila seseorang berjenggot, hendaklah diperhatikan: jika jenggot itu tipis, tidak sampai menutupi kulit, maka yang bersangkutan wajib mencuci kulit dan jenggotnya. Sedangkan jika jenggot itu tebal, sehingga menutupi kulit di baliknya, kepadanya hanya diwajibkan mencuci jenggotnya saja, tidak wajib mencuci kulit yang ada di baliknya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.:

"Sesungguhnya Nabi saw. wudlu, lalu beliau mengambil air hanya dengan kedua telapak tangannya saja dan hanya sekali saja serta mencuci mukanya dengan air tersebut".

Hanya dengan kedua telapak tangannya dan hanya sekali mengambil saja, sudah barang tentu bagi orang yang berjenggot tebal tidak akan membuat air sampai pada kulit yang ada di balik jenggot. Namun demikian, disunatkan bagi yang berjenggot tebal menyibak-nyibakkannya, yakni menjarangkannya, berdasarkan hadits Utsman r.a.:

"Sesungguhnya Nabi menyibak-nyibak jenggotnya".

Setelah itu, ia mencuci kedua tangannya sampai dengan sikut. Ini adalah merupakan fardlu.
Firman Allah Ta’ala:
"…dan tangan kalian sampai sikut" (QS. 5 : 6)

Dalam mencuci kedua tangan ini disunatkan memulai dengan bagian kanan kemudian yang kiri, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oelh Abu Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. bersabsa:
"Apabila kalian wudlu, maka mulailah dengan bagian kanan kalian".

Namun demikian bila sampai terjadi dengan mendahulukan bagian kiri, hukumnya boleh karena dalam Al-Qur’an, Allah SWT. juga hanya berfirman: ( , dan tangan kalian). Dalam mencuci kedua tangan wajib meliputi sikut, bukan hanya sampai pangkal, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya dia wudlu lalu mencuci kedua tangannya sampai kedua sendi (sikut) dan dia pun mencuci kedua kakinya sampai kedua betisnya. Kemudian dia berkata:

"Demikianlah aku melihat Rasulullah saw. wudlu".

Begitu juga halnya konsensus para ulama berketetapan, sesungguhnya sikut itu sendiri adalah bagian yang harus dicuci. Sesudah itu, kemudian ia menyapu kepala. Hukum menyapu kepala ini adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT:
"…dan sapulah kepala kalian" (QS. 5 : 6)

Batasan kepala yaitu seluruh bagian yang ditumbuhi rambut bagi yang berambut normal dan dua bagian yang melingkari ubun-ubun. Keharusan menyapu kepala ini cukup dengan mengusap saja, sekalipun hanya sedikit, karena Allah Ta’alajuga hanya menyuruh mengusap saja yang berarti mengandung makna sedikit dan banyak. Minimal -dalam menyapu kepala ini– dengan air yang terbawa oleh telunjuk dan menyapu pada bagian mana saja dari kepala walau hanya sedikit yang diyakini, bahwa bagian kepala telah disapu atau diusap. Akan tetapi sunnatnya adalah seluruh bagian kepala disapu, mulai dengan mengambil air dengan kedua telapak tangan lalu menyapukannya dan menyambungkan ujung kedua jari manis, kemudian meletakkannya pada bagian depan kepala dan meletakkan kedua ibu jari pada bagian pelipis yang selanjutnya ditarik ke bagian belakang kepala dan setelah itu menarik kembali pada bagian depan kepala. Hal ini sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Miqdad bin Ma’diyakrib:

"Sesungguhnya Nabi saw. menyapu kepala dan bagian luar dalam kedua telinganya serta beliau memasukkan kedua telunjuk ke dalam lubang kedua telinganya".

Sebaiknya menyapu kedua telinga dilakukan dengan air baru, bukan air yang dipergunakan untuk menyapu kepala, sebagaimana dikemukakan dalam hadits Abdullah bin Zaid, bahwasanya dia melihat Rasulullah saw. berwudlu, maka beliau mengambil air untuk menyapu kedua telinganya bukan dengan air yang telah dipergunakan untuk menyapu kepalanya.

Kemudian sesudah itu ia mencuci kedua kaki. Mencuci kedua kaki adalah fardlu, berdasarkan firman Allah SWT.:
"…dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki" (QS. 5 : 6).

Dalam shahih Bukhari Muslim dinyatakan juga, sesungguhnya Rasulullah saw. pernah melihat sekelompk kaum muslimin berwudlu, sedang tumit mereka tampak tidak tersapu oleh air, maka beliau bersabda:
"Celakalah tumit-tumit itu karena jilatan api neraka".

Pernyataan ini merupakan penjelasan, bahwa mencuci seluruh bagian kaki adalah fardlu. Begitu pula dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab r.a. dikisahkan, bahwasanya seseorang berwudlu namun bagian kuku pada kedua kakinya tidak dicuci. Oleh karenanya, maka ia menyampaikan kasus ini kepada Nabi saw., maka bersabdalah Beliau:

"Ulangilah wudlu kamu dengan baik".
Dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib dari atayhnya dari kakeknyadikemukakan pula bahwasanya seorang laki-laki datang kepada Nabi saw lalu bertanya : Ya Rasulullah bagaimana bersuci itu ? Kemudian beliau meminta air selanjutnya beliau mencuci kedua telapak tangannya tiga kali ( dalam hadits ini dituturkan langkah-langkah berikutnya sampai ia berkata ) : Kemudian beliau mencuci kedua kakinya tiga kali dan setelah itu beliau bersabda :
"Demikianlah cara bewudlu maka barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku zhalim".

Pada saat mencuci kedua kaki, wajib menyertakan kedua mata kakinya, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan (basuhlah) kaki kalian sampai dengan kedua mata kaki" (QS. 5: 6)

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Utsman ketika mensifati wudlu Rasulullah saw. dikemukakan:
"Kemudian beliau mencuci kakinya yang kanan sampai kedua mata kakinya, kemudian yang kiri juga".

Tidak didapatkan riwayat yang menerangkan, bahwa Rasulullah saw. melakukan wudlu dengan menyalahi riwayat yang dikemukakan di atas, atau mengakui, atau menyatakan bahwa menyalahinya diperbolehkan. Sesungguhnya pernyataan dalam firman Allah yang berbunyi ilal ka’baini (yakni, sampai dengan kedua mata kaki) adalah merupakan dalil, bahwa mencuci kedua kaki meliputi mata kakinya adalah fardlu, karena ghayah (tujuan akhir) termasuk ke dalam tempat tujuan akhir itu sendiri.

"Sesuatu yang bersifat wajib bila tidak terpenuhi kecuali dengannya, maka hal itu hukumnya wajib".

Disunnahkan mencuci kaki dengan mendahulukan bagian kanan dari bagian kiri dan menjarangkan jemarinya, seperti dikemukakan dalam sabda Nabi saw. yang disampaikan kepada Al-Laqith bin Shanrah:

"Jarangkanlah olehmu jari jemari".

Kemudian daripada itu, disunnahkan pula pada saat mencuci kedua tangan melampaui kedua sikut pada waktu mencuci kedua kaki melampaui kedua mata kakinya.

Sabda Rasulullah saw.:
"Akan datang umatku pada hari kiamat bertanda putih dikening dan kakinya, sebagai tanda bekas wudlu. Maka barang siapa mampu agar tanda itu berkepanjangan padanya, hendaklah melakukannya".
Dan disunnahkan juga dalam wudlu melakukannya tiga kali-tiga kali, berdasarkan hadits Ali r.a.:

“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali”.
Bilamana lebih dari tiga kali, hukumnya makruh, sebagaimana diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya:

“Sesungguhnya Nabi saw. berwudlu tiga kali-tiga kali. Kemudian beliau bersabda: Demikianlah cara berwudlu. Barang siapa memberi tambahan dari ini atau menguranginya, sungguh ia telah berbuat tidak baik dan berlaku dzalim”.

Namun demikian, diperbolehkan walau hanya satu kali-satu kali atau dua kali-dua kali saja, karena hal itu juga pernah dicontohkan oleh Nabi saw., yakni bahwasanya beliau berwudlu satu kali-satu kali, dua kali-dua kali, dan tiga kali-tiga kali.

Seperti inilah cara berwudlu. Hendaknya cara tersebut dilakukan dengan berurutan (tertib), yakni memulai dengan mencuci muka, kedua tangan, menyabu kepala, kemudian mencuci kedua kaki, dengan alasan: Sesungguhnya Allah SWT. telah menyertakan “menyapu” di antara mencuci, yakni antara kedua tangan dengan kedua kaki, sehingga hukum kasus yang sama terputus dari kasus yang sama pula. Maksud dari kasus ini tidak lain berimplikasi, bahwa tertib itu hukumnya fardlu. Dan hadits hadits shahih yang diterima dari para sahabat juga, yaitu hadits-hadits yang menerangkan tentang cara berwudlu Nabi saw. seluruhnya menerangkan wudlu beliau dilakukan secara berurutan. Padahal para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits tentang cara wudlu beliau banyak sekali dan wudlu beliau juga disaksikan oleh mereka dilakukannya di berbagai tempat serta tidak ada yang mengukuhkan tentang cara wudlu beliau dengan cara yang tidak tertib. Dengan demikian, maka apa yang dilakukan oleh Nabi saw. ketika wudlu adalah merupakan penjelasan cara wudlu seperti yang diperintahkan dan ketika beliau hanya menepati satu cara dalam wudlu ini merupakan petunjuk yang kua sebagai suatu ketetapan, sehingga jadilah tertib sebagai fardlu. Selanjutnya wajib pula berkesinambungan dalam membersihkan setiap anggota wudlu. Akan tetapi bila hanya terputusnya sebentar tidaklah mengapa. Sedangkan bila terputusnya lama, maka wudlu tersebut tidak sah. Sebab dalam hal ini, yakni berkesinambungan saat berwudlu hukumnya fardlu, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Al-Baihaqi dari Khalid bin Ma’dan dari para sahabat:

"SesungguhnyaNabi saw. melihat seorang laki-laki sedang shalat dan dibelakang kakinya tampak kulit mengering sebesar uang logam satu dirham karena tidak kena air. Maka beliau pun menyuruhnya agar mengulangi wudlunya bersama shalat tersebut".

Diriwayatkan dari Umar ra. -sebagai hadits mauquf yang disandarkan kepadanya-bahwasanya dia berkata:

"Sungguh orang yang mengerjakan hal itu, haruslah kamu itu mengulangi kembali wudlu kamu".

Seandainya berkenambungan bukan fardlu, niscaya kepada yang bersangkutan cukup hanya mengulang mencuci kedua kakinya saja. Dengan demikian, maka perintah mengulang kembali wudlu secara menyeluruh bersama sahalatnya tersebut, ini adalah merupakan dalil bahwa berkesinambungan hukumnya wajib.

Dan pada akhirnya seusai wudlu disunnahkan berdoa:
"Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya".
Dalam hadits yang diriwayatkan pleh Umar ra. Bahwasanya Nabi saw. bersabda:

"Barang siapa wudlu, lalu ia wudlu dengan baik kemudian berdoa: (Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, Maha Esa Dia, tiada sekutu bagi-Nya, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya) sedang ia membacanya dengan tulus dari lubuk hatinya, maka Allah membukakan baginya kedelapan pintu syurga dan ia diperbolehkan masuk sana dari pintu mana saja yang ia kehendaki".
READ MORE - Wudhu adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim dwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat
READ MORE - Wudhu adalah salah satu cara mensucikan anggota tubuh dengan air. Seorang muslim dwajibkan bersuci setiap akan melaksanakan shalat

Rukun dan Iman kepada Allah merupakan hal terpenting dalam agama


Rukun dan Iman kepada Allah merupakan hal terpenting dalam agama.
Arti "rukun" adalah bagian, hal-hal utama yang dipentingkan. Arti Islam menurut bahasa Arab adalah “selamat” kata aslamah. Arti dasar dari masing-masing kata memberikan definisi “hal-hal yang dipentingkan agar selamat di dalam beribadah kepada Allah SWT dan Rasulnya”.

Definisi Iman : Menurut bahasa iman berarti pembenaran hati. Sedangkan menurut istilah, iman adalah: membenarkan dengan hati, mengikrarkan dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan.

Ini adalah pendapat jumhur. Dan Imam Syafi’i meriwayatkan ijma para sahabat, tabi’in dan orang-orang sesudah mereka yang sezaman dengan beliau atas pengertian tersebut.

"Membenarkan dengan hati" maksudnya menerima segala apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam.

"Mengikrarkan dengan lisan" maksudnya, mengucapkan dua kalimah syahadat, syahadat "Laa ilaha illallahu wa anna Muhammadan Rasulullah" (Tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah).

"Mengamalkan dengan anggota badan" maksudnya, hati mengamalkan dalam bentuk keyakinan, sedang anggota badan mengamalkannya dalam bentuk ibadah-ibadah sesuai dengan fungsinya. Kaum salaf menjadikan amal termasuk dalam pengertian iman. Dengan demikian iman itu bisa bertambah dan berkurang seiring dengan bertambah dan berkurangnya amal shalih.

Dalil-dalil tentang Iman
1. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: "Dan tiada kami jadikan penjaga Neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan untuk jadi cobaan orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mukmin tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (menyatakan), Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?" (Al-Muddatstsir: 31)

2. Firman Allah Subhannahu wa Ta’ala: "Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya, bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan se-bagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya." (Al-Anfal: 2-4)

3. Sabda Rasulullah yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu, ia berkata bahwasanya Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: "Iman itu tujuh puluh cabang lebih atau enam puluh cabang lebih yang paling utama adalah ucapan “la ilaha illallahu” dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan (kotoran) dari tengah jalan, sedang rasa malu itu (juga) salah satu cabang dari iman." (HR. Muslim, 1/63)

4. Sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, riwayat Abu Sa’id Al-Khudry, ia berkata, "Saya mendengar Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda: "Siapa yang melihat kemungkaran di antara kalian, maka hen- daklah ia mengubah kemungkaran itu dengan tangannya, jika ia tidak mampu maka dengan lisannya, dan jika ia tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim, 1/69)

Dalil Pertama:
Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman orang-orang mukmin, yaitu dengan persaksian mereka akan kebenaran nabinya berupa terbuktinya kabar beritanya sebagaimana yang tersebut dalam kitab-kitab samawi sebelumnya.

Dalil kedua:
Di dalamnya terdapat penetapan bertambahnya iman dengan mendengarkan ayat-ayat Allah bagi orang-orang yang disifati oleh Allah, yaitu mereka yang jika disebut nama Allah tergeraklah rasa takut mereka sehingga mengharuskan mereka menjalankan perintah dan menjauhi larangannya.

Mereka itulah orang-orang yang bertawakkal kepada Allah. Mereka tidak mengharapkan selainNya, tidak menuju kecuali kepadaNya dan tidak mengadukan hajatnya kecuali kepada-Nya. Mereka itu orang-orang yang memiliki sifat selalu melaksanakan amal ibadah yang di syariatkan seperti shalat dan zakat. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar beriman, dengan tercapainya hal-hal tersebut baik dalam i’tiqad maupun amal perbuatan.

Dalil ketiga:
Hadits ini menjelaskan bahwa iman itu terdiri dari cabang-cabang yang bermacam-macam, dan setiap cabang adalah bagian dari iman yang keutamaannya berbeda-beda, yang paling tinggi dan paling utama adalah ucapan “la ilaha illallah” kemudian cabang-cabang sesudahnya secara berurutan dalam nilai dan fadhilah-nya sampai pada cabang yang terakhir yaitu menyingkirkan rintangan dan gangguan dari tengah jalan
.
Adapun cabang-cabang antara keduanya adalah shalat, zakat, puasa, haji dan amalan-amalan hati seperti malu, tawakkal, khasyyah (takut kepada Allah) dan sebagainya, yang kesemuanya itu dinamakan iman. Di antara cabang-cabang ini ada yang bisa membuat lenyapnya iman manakala ia ditinggalkan, menurut ijma’ ulama; seperti dua kalimat syahadat. Ada pula yang tidak sampai menghilangkan iman me-nurut ijma’ ulama manakala ia ditinggalkan; seperti menyingkirkan rintangan dan gangguan dari jalan.

Sejalan dengan pengamalan cabang-cabang iman itu, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya, maka iman bisa bertambah dan bisa berkurang.

Dalil keempat:
Hadits Muslim ini menuturkan tingkatan-tingkatan nahi munkar dan keberadaannya sebagai bagian dari iman. Ia menafikan (meniadakan) iman dari seseorang yang tidak mau melakukan tingkatan terendah dari tingkatan nahi munkar yaitu mengubah kemungkaran dengan hati. Sebagaimana disebutkan dalam sebagian riwayat hadits: “Dan tidak ada sesudahnya sebiji sawi pun dari iman.” (HR. Muslim, Kitab Al-Iman, Bab Bayanu Kurhin Nahyi Anil Mungkar).

Rukun Iman (pilar keyakinan) ini adalah menurut aliran Islam Sunni terdiri dari:
1. Iman kepada Allah (Dalam Islam, Allah adalah satu-satunya Tuhan (tanpa sekutu)). Patuh dan taat kepada Ajaran Allah dan Hukum-hukumNya
2. Iman kepada Malaikat-malaikat Allah (malaikat adalah makhluk yang memiliki kekuatan-kekuatan yang patuh pada ketentuan dan perintah Allah). Mengetahui dan percaya akan keberadaan kekuasaan dan kebesaran Allah di alam semesta
3. Iman kepada Kitab-kitab Allah. Melaksanakan ajaran Allah dalam kitab-kitabNya secara hanif. Salah satu kitab Allah adalah Al-Qur'an (Al-Qur'an adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril.). Al-Qur'an memuat tiga kitab Allah sebelumnya, yaitu kitab-kitab Zabur (Zabur adalah salah satu kitab suci yang diturunkan sebelum Al-Qur'an (selain Taurat dan Injil)), Taurat, dan Injil
4. Iman kepada Rasul-rasul Allah. Mencontoh perjuangan para Nabi (Nabi adalah manusia yang memperoleh wahyu dari Tuhan tentang agama dan misinya. Lebih khusus lagi terdapat istilah rasul yang dalam agama Islam dibedakan bahwa rasul memiliki kewajiban untuk menyampaikan ajaran yang diterima dari Tuhan) dan Rasul (Rasul adalah seorang yang mendapat wahyu dari Allah dengan suatu syari'at dan ia diperintahkan untuk menyampaikannya dan mengamalkannya. Setiap rasul pasti seorang nabi, namun tidak setiap nabi itu seorang rasul. Jadi jumlah para nabi itu jauh lebih banyak ketimbang para rasul) dalam menyebarkan dan menjalankan kebenaran yang disertai kesabaran
5. Iman kepada hari Kiamat (Akhir zaman seringkali digambarkan sebagai suatu masa yang diwarnai oleh kesusahan yang mendahului kedatangan kembali dari Mesias yang telah diramalkan. Mesias adalah tokoh yang akan mengantarkan datangnya Kerajaan Allah dan mengakhiri penderitaan dan kejahatan). Paham bahwa setiap perbuatan akan ada pembalasan
6. Iman kepada Qada dan Qadar (Istilah Qada bila dimutlakkan, maka memuat makna Qadar dan sebaliknya istilah Qadar bila dimutlakkan, maka memuat makna Qada, Akan tetapi bila dikatakan "Qadha-Qadar", maka ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini banyak terjadi dalam bahasa Arab. Satu kata dapat bermakna yang luas ketika sendirian dan punya makna khusus bila disatukan (dikumpulkan). Sebagai contoh dapat dikatakan.

"Bila keduanya bersatu maka berbeda dan bila keduanya dipisah maka bersatu"

Maka kata Qada dan Qadar termasuk dalam kondisi seperti ini, artinya bila kata Qada dipisahkan (dari kata Qadar), maka memuat Qadar dan sebaliknya kata Qadar bila dipisahkan (dari kata Qada) maka memuat makna Qada. Akan tetapi ketika dikumpulkan, kata Qada bermakna sesuatu yang ditetapkan Allah pada mahluk-Nya, baik berupa penciptaan, peniadaan maupun perubahannya. Sedangkan Qadar bermakna sesuatu yang telah ditentukan Allah sejak zaman azali. Inilah perbedaan antara kedua istilah tersebut. Maka Qadar ada lebih dahulu kemudian disusul dengan Qada.
Yakni beriman bahwasanya Allah itu mengetahui apa-apa yang telah terjadi dan yang akan terjadi; menentukan dan menulisnya dalam lauhul mahfudz ; dan bahwasanya segala sesuatu yang terjadi, baik maupun buruk, kafir, iman, ta'at, ma'shiyat, itu telah dikehendaki, ditentukan dan diciptakan-Nya ; dan bahwasanya Allah itu mencintai keta'atan dan membenci kemashiyatan.). Paham pada keputusan serta kepastian yang ditentukan Allah pada alam semesta

Rukun Iman ini adalah menurut aliran Islam Syiah terdiri dari:
at-tauhid
an-nubuwah
al-imamah
al-adhl
READ MORE - Rukun dan Iman kepada Allah merupakan hal terpenting dalam agama
READ MORE - Rukun dan Iman kepada Allah merupakan hal terpenting dalam agama

rukuk adalah membongkok ke hadapan dengan sekurang-kurangnya hingga terlihat tangannya mencapai ke lutut

Perbuatan rukuk adalah membongkok ke hadapan dengan sekurang-kurangnya hingga terlihat tangannya mencapai ke lutut. Rukuk yang sempurna ialah menyamakan belakangnya dan tengkuknya pada satu garis lurus dan meluruskan kakinya (iaitu betis dan peha) dan memegang kedua lututnya dengan menjarangkan antara jari-jari tangan. Bagi mereka yang solat secara duduk, memadai rukuk itu dengan membongkok ke hadapan hingga dahinya selari dengan kepala lututnya. Untuk lebih sempurna bagi solat duduk, rukuknya adalah membongkok ke hadapan hingga dahinya selari dengan tempat sujud.

Rukuk adalah salah satu rukun yang disertakan dengan tama'ninah. Tama'ninah dalam rukuk adalah dalam keadaan tetap semua anggota badannya hingga cukup masa untuk membezakan perlakuan membongkok dan bangun daripadanya.

Kategori rukun
1. Rukun qalbi (ﻗﻠﺒﻲ - iaitu berasal daripada perkataan ﻗﻠﺐ - qalb bermaksud hati) adalah rukun yang berasaskan kepada hati.
2. Rukun fi'li (ﻓﻌﻠﻲ - iaitu berasal daripada perkataan ﻓﻌﻞ - fi'l bermaksud perlakuan) adalah rukun yang berasaskan kepada perbuatan anggota badan. Pergerakan anggota badan atau tindakan tubuh itu memerihalkan rukun tersebut.
3. Rukun qauli (ﻗﻮﻟﻲ - iaitu berasal daripada perkataan ﻗﻮﻝ - qaul bermaksud kata-kata) dalah rukun yang berasaskan kepada sebutan dan bacaan.

"Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung".
(Tiga kali).

Rukuk hendaklah disertai dengan tuma’ninah-berhenti sejenak.
Sesungguhnya Penolong kamu hanyalah Allah, dan RasulNya, serta orang-orang yang beriman, yang mendirikan sembahyang, dan menunaikan zakat, sedang mereka rukuk (tunduk menjunjung perintah Allah).

ketika rukuk rasul meletakkan k-2 telapak tgn diatas lutut maknanya dpt merawat kelenturan tulang belakang yg berisi sumsum tlg blkg sebagai saraf sentral dgn aliran darahnya dpt memelihara kelenturan tuas sistem keringat di punggung paha betis blkg tulang leher tengkuk&saluran saraf memori dgt terjaga kelenturan nya akan maks dgn angkat kepala maks mata menghdp t4 sujud &berdiri dari rukuk pd saat tgn diangkat,darah dari kepala trn k bwh hing bag pangkal otak yg mengatur keseimbangan berkuran tekanan darahnya,ini berguna cegah pingsan dgn tiba2

Hal utama yang menyebabkan shalat kurang khusu’ atau bahkan tidak khusu’ adalah buru-buru. Setiap melakukan shalat, selalu diingatkan atau dibayang-bayangi oleh hal-hal yang akan kita lakukan setelah shalat atau hal-hal yang terlupakan sebelum shalat, tiba-tiba terlintas dipikiran.

Berikut tips untuk mencapai shalat khusu’:
- Sebelum memulai shalat, niatkan bahwa anda punya waktu 15 menit untuk shalat. Jadi anda tidak perlu terburu-buru dalam melakukan shalat. Segala hal yang akan anda lakukan setelah shalat, masih bisa menunggu setelah 15 menit ini berlalu.

- Lakukan shalat dengan sadar, artinya anda tahu & sadar rukun apa yang sedang anda lakukan atau bacaan apa yang sedang anda baca. Bacalah bacaan shalat secara perlahan dan lemah lembut. Tidak perlu terburu-buru karena anda punya waktu 15 menit untuk shalat ini.

- Ketika melakukan gerakan shalat, sempurnakanlah gerakan tersebut terlebih dahulu sebelum memulai bacaan. Misalnya ketika berdiri, berdirilah dengan tegak dan anda sadar & bisa merasakan bahwa anda sedang berdiri. Ketika rukuk, rasakan dengan penuh kesadaran bahwa anda sedang rukuk, sempurnakan gerakan rukuk, baru kemudian memulai bacaan. Ketika sujud, rasakan bahwa anda sedang bersujud, rasakan bahwa tubuh anda sedang bersujud, baru kemudian mulai bacaannya. Triknya jangan memulai bacaan sebelum anda sadar bahwa anda sedang bersujud atau rukuk. Jika perlu menarik nafas, tariklah nafas terlebih dahulu, baru memulai bacaan. Sekali lagi jangan terburu-buru karena anda punya waktu 15 menit untuk melakukan shalat ini.

- Yakinkan dalam hati bahwa Allah SWT sedang memandang kepada anda. Allah sedang mendengarkan bacaan-bacaan anda. Gunakan hati, bukan pikiran. Jika harus menitikan air mata, biarkan air mata anda mengalir, rasakan dengan hati. Jika ada penyesalan terhadap dosa-dosa anda yang telah lalu, rasakan itu, rasakan dengan sangat mendalam, biarkan air mata anda mengalir. Anda akan merasakan begitu rindu dengan Allah, laksana anda baru pulang ke kampung halaman dari perantauan yang telah bertahun-tahun. Jika anda merasakan hal ini ketika bersujud, biarkanlah posisi anda dalam keadaan bersujud, sampai hati anda merasa puas, baru kemudian bangkit dari sujud.

Anda tidak perlu menjadi imam mesjid, seorang ustaz / ustazah, atau pak haji / ibu haji untuk mencapai shalat khusu’. Praktekan tips di atas, Insya Allah anda akan mendapatkan shalat khusu’. Sebenarnya shalat khusus’ bukan diciptakan, tetapi kita menyiapkan diri untuk menerima kekhusukan itu dari Allah SWT. Allah akan memberikan rasa khusu’ jika jiwa kita sudah siap menerimanya. Sedikit atau banyak dosa yang telah anda lakukan TIDAK AKAN MENGHALANGI anda untuk menerima kekhusukan dari Allah. Allah Maha Pengampun, Allah Maha Penyayang dan Maha Pengasih. Maha dapat diartikan tidak terbatas, banyak dan berlimpah.

Perlu latihan yang terus menerus untuk mencapai shalat khusu’. Jika sudah mencapai rasa khusu’, pertahankanlah. Jika kadang kala hilang, ulangi lagi tips di atas. Karena hati kita laksana air laut, kadang pasang, kadang surut.

Semoga Allah memberikan kemudahan bagi kita untuk mencapai shalat khusu’.
READ MORE - rukuk adalah membongkok ke hadapan dengan sekurang-kurangnya hingga terlihat tangannya mencapai ke lutut
READ MORE - rukuk adalah membongkok ke hadapan dengan sekurang-kurangnya hingga terlihat tangannya mencapai ke lutut
.::BY JUMBHO-MY AT HOME IN THE JEPARA CITY OF BEAUTIFUL::.